Minggu, 16 Maret 2014

UAN Sebagai Quality Control





Ujian akhir Nasional (UAN) merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan untuk menentukan standar mutu pendidikan. Kebijakan ini berkaitan dengan berbagai aspek yang dinamis, seperti budaya, kondisi sosial ekonomi, bahkan politik dan keamanan, sehingga akan selalu rentan terhadap perbedaan dan kontroversi sejalan dengan perkembangan masyarakat. Kebijakan tersebut merupakan keputusan politik atau pilitik pendidikan, yang menyangkut kepentingan berbagai pihak, bahkan dalam batas – batas tertentu dapat dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan.
            Hampir seluruh tenaga kependidikan sepakat akan perlunya ujian, untuk mengetahui keefektifan berbagai upaya yang dilakukan dalam proses pendidikan, apakah telah membauhkan hasil yang memuaskan. Namun, karena pemerintah menetapkan nilai UAN minimal yang harus dicapai oleh peserta didik dalam kelulusan, telah menimbulkan beberapa masalah teknis yang dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Masalah tersebut antara lain, karena sifatnya nasional, maka bidang kajian yang di UAN kan dianggap lebih penting dari pada mata pelajaran lain, sehingga sebagian besar upaya sekolah hanya ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan dalam UAN. Padahal materi UAN hanya mencakup aspek intelektual, yang tidak mampu mengukur seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah terjadi malpraktek dengan kesan penyempitan terhadap makna dan hakekat pendidikan yang utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif dengan mata kajian pada yang diujikan. Kecakapan motorik, sosial, emosinal, moral atau budi pekerti, dan aspek spritual dianggap diabaikan. Padahal aspek – aspek tersebut ditekankan dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan yang kontropersial, di satu sisi menggulirkan MBS dan Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, di sisi lain juga menggulirkan NUAN sebagai syarat kelulusan, sehingga menimbulkan berbagai kesalahtafsiran para pelaksanaan di lapangan.
            Tujuan pemerintah memang baik untuk mendongkrak kualitas pendidikan, dengan menetapkan standar minimal 4,50 karena standar dunia – pun 6,0, jadi wajar kalau pemerintah menetapkan hal tersebut. Namun hal tersebut digulirkan dalam kondisi masyarakat yang labil, sehingga banyak menimbulkan kesalahtafsiran, bahkan penolakkan. Masyarakat yang tidak menerima juga tidak bisa disalahkan, kerena pemerintah hanya menuntut tanpa melengkapi dengan alat dan sarananya. Seharusnya tiap kebijakan diikuti dengan sub – sub kebijakan lain yang menunjang pelaksanaannya di lapangan, seperti, sarana, prasarana, dan laboratorium; bahkan meningkatkan profesionalime tenaganya.
            Kondisi inilah yang sering menghambat peningkatan kualitas pendidikan, apalagi jika kebijakan pemerintah itu hanya dijadikan semacam proyek, yang ketika habis dananya maka berakhir pula pelaksanaannya. Kita bisa menyaksikan tentang nasib CBSA, keterampilan proses, linka and macth, dan lain – lain produk pemerintah yang tidak jelas ujung pangkalnya, tahu – tahu sudah harus diganti. Pergantian juga sering tidak ditunjang oleh data, yang ada hanyalah bahwa dirjennya, menterinya, atau mungkin presidennya diganti, sehingga perlu dilakukan perubahan.
            Lepas dari berbagai keterbatasan dan kelemahan tersebut, melalui UAN, pemerintah memiliki kepentingan untuk mengetahui kemampuan lulusan pendidikan dari berbagai jenjang dalam bidang kajian tertentu, sebagai indikator keberhasilan sistem pendidikan. Kita juga ingin tahu kemampuan anak – anak dalam berhitung, bahasa, ilmu pengetahuan alam, dan sebagainya, paling tidak yang dapat dijaring melalui UAN, dan membandingkannya antar wilayah, kabupaten atau kota, bahkan antar sekolah. Kepentingan pemerintah untuk mengetahui hasil pendidikan secara nasional merupakan kepentingan lembaga bukan bersifat pribadi, dan merupakan pesan Undang – undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Th. 2003. Bahkan maksud dari Undang – undang tersebut bukan sekedar UAN, tetapi menyangkut penilaian kinerja seluruh komponen sistem pendidikan.
            Akhirnya, perlu ditegaskan disini bahwa UAN itu lebih tepat digunakan untuk melihat keberhasilan kurikulum dan pendidikan secara keseluruhan, bukan untuk menilai keberhasilan peserta didik. Sistem penilaian keberhasilan peserta didik dalam Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi sebaiknya diserahkan kepada daerah dan sekolah, dalam bentuk penilaian berbasis kelas (PKB), atau clasroom based evaluation (CBE).

0 komentar:

Posting Komentar