Ujian akhir
Nasional (UAN) merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan untuk
menentukan standar mutu pendidikan. Kebijakan ini berkaitan dengan berbagai
aspek yang dinamis, seperti budaya, kondisi sosial ekonomi, bahkan politik dan
keamanan, sehingga akan selalu rentan terhadap perbedaan dan kontroversi
sejalan dengan perkembangan masyarakat. Kebijakan tersebut merupakan keputusan
politik atau pilitik pendidikan, yang menyangkut kepentingan berbagai pihak,
bahkan dalam batas – batas tertentu dapat dipolitisir untuk kepentingan
kekuasaan.
Hampir seluruh tenaga kependidikan
sepakat akan perlunya ujian, untuk mengetahui keefektifan berbagai upaya yang
dilakukan dalam proses pendidikan, apakah telah membauhkan hasil yang
memuaskan. Namun, karena pemerintah menetapkan nilai UAN minimal yang harus
dicapai oleh peserta didik dalam kelulusan, telah menimbulkan beberapa masalah
teknis yang dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Masalah tersebut antara lain,
karena sifatnya nasional, maka bidang kajian yang di UAN kan dianggap lebih
penting dari pada mata pelajaran lain, sehingga sebagian besar upaya sekolah
hanya ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan dalam
UAN. Padahal materi UAN hanya mencakup aspek intelektual, yang tidak mampu
mengukur seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah terjadi
malpraktek dengan kesan penyempitan terhadap makna dan hakekat pendidikan yang
utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif dengan mata kajian pada yang
diujikan. Kecakapan motorik, sosial, emosinal, moral atau budi pekerti, dan
aspek spritual dianggap diabaikan. Padahal aspek – aspek tersebut ditekankan
dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi. Dalam hal ini, bisa dikatakan
bahwa pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan yang kontropersial, di satu
sisi menggulirkan MBS dan Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, di sisi lain
juga menggulirkan NUAN sebagai syarat kelulusan, sehingga menimbulkan berbagai
kesalahtafsiran para pelaksanaan di lapangan.
Tujuan pemerintah memang baik untuk
mendongkrak kualitas pendidikan, dengan menetapkan standar minimal 4,50 karena
standar dunia – pun 6,0, jadi wajar kalau pemerintah menetapkan hal tersebut.
Namun hal tersebut digulirkan dalam kondisi masyarakat yang labil, sehingga
banyak menimbulkan kesalahtafsiran, bahkan penolakkan. Masyarakat yang tidak
menerima juga tidak bisa disalahkan, kerena pemerintah hanya menuntut tanpa
melengkapi dengan alat dan sarananya. Seharusnya tiap kebijakan diikuti dengan
sub – sub kebijakan lain yang menunjang pelaksanaannya di lapangan, seperti,
sarana, prasarana, dan laboratorium; bahkan meningkatkan profesionalime
tenaganya.
Kondisi inilah yang sering
menghambat peningkatan kualitas pendidikan, apalagi jika kebijakan pemerintah
itu hanya dijadikan semacam proyek, yang ketika habis dananya maka berakhir
pula pelaksanaannya. Kita bisa menyaksikan tentang nasib CBSA, keterampilan
proses, linka and macth, dan lain – lain produk pemerintah yang tidak jelas
ujung pangkalnya, tahu – tahu sudah harus diganti. Pergantian juga sering tidak
ditunjang oleh data, yang ada hanyalah bahwa dirjennya, menterinya, atau
mungkin presidennya diganti, sehingga perlu dilakukan perubahan.
Lepas dari berbagai keterbatasan dan
kelemahan tersebut, melalui UAN, pemerintah memiliki kepentingan untuk
mengetahui kemampuan lulusan pendidikan dari berbagai jenjang dalam bidang
kajian tertentu, sebagai indikator keberhasilan sistem pendidikan. Kita juga
ingin tahu kemampuan anak – anak dalam berhitung, bahasa, ilmu pengetahuan
alam, dan sebagainya, paling tidak yang dapat dijaring melalui UAN, dan
membandingkannya antar wilayah, kabupaten atau kota, bahkan antar sekolah.
Kepentingan pemerintah untuk mengetahui hasil pendidikan secara nasional
merupakan kepentingan lembaga bukan bersifat pribadi, dan merupakan pesan
Undang – undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Th. 2003. Bahkan maksud dari
Undang – undang tersebut bukan sekedar UAN, tetapi menyangkut penilaian kinerja
seluruh komponen sistem pendidikan.
Akhirnya,
perlu ditegaskan disini bahwa UAN itu lebih tepat digunakan untuk melihat
keberhasilan kurikulum dan pendidikan secara keseluruhan, bukan untuk menilai
keberhasilan peserta didik. Sistem penilaian keberhasilan peserta didik dalam
Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi sebaiknya diserahkan kepada daerah dan
sekolah, dalam bentuk penilaian berbasis kelas (PKB), atau clasroom based evaluation (CBE).
0 komentar:
Posting Komentar