PERSEPSI
ORANGTUA SISWA TERHADAP
PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN
ABSTRAK
Sejalan dengan dilaksanakan otonomi daerah yang menjadi
bagian pemindahan urusan pusat kepada daerah dan khususnya berbasis masyarakat
setemapat maka peranan orangtua juga menjadi utama. Pendidikan sendiri perlu
tumbuh dari masyarakat demikian halnya inisiatif juga muncul melalui masyarakat
sendiri. Sehingga pada hakekatnya kebijakan yang menekankan kepada
desentralisasi pendidikan adalah tata pemerintahan dalam bidang pendidikan yang
dulunya berpedoman pada birocracy based
management menjadi school based
management. Program ini menawarkan desentralisasi sekolah untuk mengurus
kewenangannya secara otonom akibat terjadinya pelimpahan wewenang pemerintahan
dari pusat kepada daerah/Kota. Desentralisasi pendidikan bukan hanya terbatas
kepada pemilihan dan kewenangan mengurus dan memilih kurikulum tetapi harus
sampai kepada menentukan evaluasi tahap akhir. Sekolah dan guru adalah pihak
institusi yang memahami keseharian akan anak muridnya.
Kata kunci : Orang Tua SIswa (Masyrakat),
Penyelenggaraan, Pendidikan.
Pendahuluan
Pada
konteks reformasi, desentralisasi, otonomi pendidikan dan Management Berbsis
Masyarakat, maka peranan orangtua menjadi penting keikutsertaannya dalam
merumuskan program penyelenggaraan pendidikan maupun kegiatan sekolah.
Keikutsertaan orangtua siswa tidak saja kepada hal yang bersifat pendanaan,
tetapi dalam pengawasan, terhadap jalannya penyelenggraan sekolah, juga
orangtua mempunyai hak untuk meminta pertanggungjawaban terhadap kinerja
sekolah karena dialah yang turut serta membayar/mendanai sekolah. Namun apakah
hal itu sudah menjadi sesuatu yang disadari, atau baru dalam proses untuk
menuju kepada kesadaran itu. Oleh karenanya tulisan ini akan menjadi satu
tahapan penting untuk menuju kepada kesadaran masyarakat terutama orangtua.
Penyelenggaraan pendidikan pada era
orde baru maupun pada masa pemerintahan sebelumnya yang bersifat sentralistik
di mana ditunjukkan bahwa urusan pendidikan adalah merupakan sepenuhnya tugas
dan wewenang pemerintah pusat. Sesuai dengan UUD 1945 yang telah diamandir
bahwa pemerintah menugaskan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang – undang. Namun secara
geografis luasnya wilayah dan heteroginitasnya masyarakat memerlukan kearifan
dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. Bersamaan dengan berlakunya UU No 22
tahun 1999 tentang pemerintahan didaerah maka, Kota maupun Kabupaten mempunyai
kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan
kewenangan yang dimiliki. Kemudian sesuai dengan ayat 5 bab XIII UUD 1945 yang
diamandemen pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai – nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan
peradaban serta kesjahteraan umat manusia.
Dalam era desentralisasi sejalan
dengan dilaksanakan otonomi daerah yang menjadi bagian pemindahan urusan pusat
kepada daerah dan khususnya berbasis masyarakat setemapat maka peranan orangtua
juga menjadi utama. Pendidikan sendiri perlu tumbuh dari masyarakat demikian
halnya inisiatif juga muncul melalui masyarakat sendiri. Sehingga pada
hakekatnya kebijakan yang menekankan kepada desentralisasi pendidikan adalah
tata pemerintahan dalam bidang pendidikan yang dulunya berpedoman pada birocracy based management menjadi school based management. Program ini
menawarkan desentralisasi sekolah untuk mengurus kewenangannya secara otonom
akibat terjadinya pelimpahan wewenang pemerintahan dari pusat kepada
daerah/Kota.
Kemudian
penyelenggaraan program pendidikan sebagai salah satu proses pelaksanaan
belajar siswa adalah institusi sekolah. Di daerah dewasa ini sesuai dengan
semangat otonominya maka orangtua siswa khususnya di SLTP pada hakekatnya
mempunyai kewajiban untuk ikut menentukan program pendidikan yang akan diajukan
kepada anak didiknya. Meskipun secara outentik dalam aturan perundang –
undangan tentang kependidikan bahwa peran orangtua tidak tertuang secara jelas
dalam pasal – pasal. Namun secara kenyataan dalam kehidupan pendidikan sehari –
hari peran orangtua cukup besar dalam mendidik anaknya baik pengaruhnya
terhadap siswa disekolah maupun dalam kehidupan sosialnya. Dalam hal ini pertanyaan
yang diajukan adalah : Seperti siapakah yang paling berhak menentukan program
pendidikan di sekolah ? ; siapakah yang paling berhak menyusun soal – soal
ujian akhir dan kepada siapakah sekolah bertanggungjawabkan kinerjanya ?; Hal
ini adalah merupakan inti perkembangan demokrasi jika jawaban mereka (orangtua)
tueut serta dalam kewenangan yang dipertanyakan tersebut. Namun demikian
pendapat seseorang antara satu dan lainnya tentu saja akan beragam sesuai
dengan latar belakang kehidupan sosialnya. Misalnya pandangan orang yang
terdidik mungkin akan berbeda dengan mereka yang tidak berpendidikan, seseorang
yang menganut etnis atau agama tertentu mungkin ada perbedaan dalam memandang
sesuatu dinamika social. Menyadari akan hal tersebut kiranya analisa pendapat
atau padangan orangtua terhadap penyelenggaraan pendidikan tersebut adalah
perlu dilihat.
Peranan
orangtua dalam pendidikan sebetulnya selaras dengan semangat management sekolah
yang berbasis masyarakat dimana peranan orangtua sebagai steakholeder
pendidikan juga berperanan utama selain civitas sekolah sendiri. Bahkan sedikit
agak rancu jika dikaitkan dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Hal
ini dimana sekolah sebetulnya mempunyai wewenang untuk melaksanakan dan
memutuskan kepentingannya sendiri sesuai dengan prinsip management berbasis
sekolah maupun masyarakat. Namun kenyataannya ada beberapa hal dimana suatu
ketika dinas kota memiliki kewenangan untuk campur seperti dalam hal personalia
penyelenggaraan sekolah.
Keikutsertaan Orangtua Dalam Program Pendidikan
Pendidikan
yang menyangkut proses belajar siswa secara formal, tidak dapat dipisahkan
antara peran siswa termasuk orangtua, institusi pendidikan (sekolah) dan juga
guru sebagai pengajar.[1]
Mengungkap bahwa ada tiga sistem organisasi untuk belajar dengan pendekatan
kepada siswa anak sekolah yaitu sistem yang berinduk kepada institusi
pendidikan atau sekolah (institution
based system), sistem lokal (local
system).
Pelibatan
orangtua dalam pendidikan tampaknya sangat diperlukan tidak saja pada persoalan
biaya tetapi lebih luas dari itu seperti bagaimana mereka harus turut serta
memikirkan proses ajar mengajar yang diselenggrakan sekolah. Oleh karenanya
orangtua tentu saja perlu terlibat dalam segala tahapan dalam proses
penyelenggraan pendidikan. Hasil survei menunjukkan bahwa umumnya masyarakat
berpendapat program pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah dan sekolah.
Ini sudah merupakan pernyataan yang cukup ada kemajuan jika program pendidikan
tidak saja tanggungjawab dari pemerintah pusat. Artinya bahwa alam reformasi
yang menghendaki prinsip keterbukaan dan demokrasi kepada steakholder sudah
mulai berjalan. Meskipun kita juga mengerti bahwa ekolah pada dasarnya pada
Orde Baru menjadi kepanjangan tangan dari instansi pendidikan pemerintah pusat.
Berdasarkan data bahwa pendapat terbesar setelah pandangan diatas bahwa program
pendidikan merupakan tanggung jawab sekolah dan orangtua. Gambaran tersebut
kembali lagi bahwa peranan sekolah adalah menjadi penting demikian juga
orangtua sebagai pemakai (user) pendidikan setidaknya adalah mempunyai
kepentingan terhadap keberhasilan anak/siswa untuk meraih hasil pendidikan
sekolah yang dipilih. Kondisi ini menunjukkan bahwa sudah terjadi pergeseran
barangkali bahwa pendidikan harus dipikirkan melalui kelembagaan sendiri atau
yang bersifat otonom.tampaknya ada kecenderungan bahwa sekolah sendiri sudah
dan akan dilaksanakan suatu management yang berbasis masyarakat dan sekolah,
sehingga sekolah adalah lebih bersifat mandiri. Meskipun demikian masih
terlihat kecenderungan nahwa semangat untuk berdiri sendiri dalam hal program
masih ditagukan sekurangnya ada sekitar 14 persen yang menyatakan bahwa program
sekola seyogyanya masih perlu dipegang oleh pemerintah. Di mana penanggungjawab
program pendidikan nasional masih berada ditangan Departemen Pendidikan
nasional di pusat. Pendapat ini mungkin penting bagaimana daerah bisa merespon
program pendidikan yang sementara ini pemerintah pusat sebagai penanggungjawab pendidikan
nasional. Maka tentunya perlu kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah
dalam rangka desentralisasi.
Dalam
semangat demokrasi dan otonomi ada “streotip” bahwa masyarakat mempunyai
kewenangan untuk menentukan kepengurusan, kelembagaannya sendiri. Seorang
pengamat pendidikan dari Taman Siswa yakni Ki Supriyoko (2000) pernah
menyatakan bahwa baik secara teoritik maupun empirik bahwa besar kecilnya
anggran pendidikan mempunyai korelasi positif terhadap kinerja pendidikan
secara nasional. Ada kecenderungan empirik dimana semakin besar anggaran yang
dialokasikan kepada pendidikan akan semakin baik kinerja pendidikan yang
bersangkutan. Sejak lama sebetulnya masyarakat juga menghendaki adanya
peningkatan anggaran pendidikan secara nasional, namun yang diharapkan hingga
kinipun belum juga kunjung kelihatan. Dalam ukuran lebih kecil seperti
pemerintah Kota Bima sudah menyadari hal tersebut seperti hasil wawancara
singkat dengan berbagai pihak di Kota Bima. Dengan bersamaan ini pula yang
telah terjadi adalah adanya kemauan politik pemerintah dan DPR untuk
meningkatkan anggaran pendidikan. Pada skal mikro sekolah juga perlu
meningkatkan anggarannya. Yang tampak justru biaya sekolah bagi orangtua murid
setiap tahun selalu meningkat.
Pendapat
tentang biaya sekolah, tentu saja orangtua dan sekolah ada kemungkinan perlu
mempunyai kewenangan tentang besarnya pungutan untuk sekolah. Karena yang
paling tahu biaya sekolah dan kepentingannya adalah sekolah sendiri. Hal lain
yang harus diperhatikan adalah kemampuan orangtua. Berkaitan dengan hal
tersebut bahwa 75,5 persen menyatakan pandangannya bahwa yang paling berhak
menentukan besarnya pembayaran uang sekolah adalah sekolah dan orangtua murid.
Uang sekoah yang dimaksud disini dapat mencakup uang SPP dan uang gedung bagi
murid baru. Pendapat ini tentu saja secara mekanisme telah diperlihatkan oleh
lembaga Komite Sekolah yang anggotanya adalah terdiri dari orangtua siswa dan
guru.
Dewasa
ini persoalan sekolah berkaitan dengan seberapa besar uang sekolah yang harus dikeluarkan
oleh orangtua dalam mendukung proses belajar mengajar. Asumsinya jika orangtua
semakin baik tingkat pendidikan akan memiliki tingkat partisipasi yang
meningkat terhadap pendidikan. Kepedulian orangtua tentu saja tidak saja kepada
biaya pendidikan itu sendiri. Sesuai dengan era reformasi pendidikan dimana
program pendidikan harus mengacu kepada kepentingan masyarakat setempat seperti
kurikulum dan anggaran sekolah. Dalam hal kekurangan pendapatan sekolah
pemerintah juga perlu mendukung dengan anggaran pendidikan semakin besar.
Terutama pungutan pendidikan kepada orangtua harus mengacu kepada sistem
“subsidi silang” yakni orangtua kaya perlu memberikan subsidi terhadap orangtua
miskin.
Media
Pembelajaran di Kelas atau di Luar Sekolah
Pada dasarnya bahwa bangsa kita
belum menyadari betul akan pentingnya kebinakaannya. Hal – hal pelajaran yang
bersifat penyeragaman dan bersifat politik pusat harus diakhiri.[2]
Sifat dari pendidikan harus berubah dari “schooling
menjadi lerarning” dalam proses pendidikan yang mempunyai tujuan kemasa
depan dan menghadapi kehidupan tentu saja tidak akan lepas hubungannya dengan
lingkungan masyarakat. Oleh karena itu proses ajar – mengajar tidak boleh
tergantung kepada kegiatan di kelas saja, tetapi juga perlu memanfaatkan sumber
pembelajaran lainnya yang ada didalam masyarakat atau lingkungan yang ada.
Sehingga perlu dipikirkan juga kurikulum yang mendasarkan kepada filosofi competence sebagai alternatif
dalam pelaksanaan otonomi sekolah. Namun dalam program kurikulum yang akan
datang (2007) perlu berbasis kompetensi masyarakat.
Dipihak lain ering dinyatakan bahwa
visi pendidikan adalah sebagai suatu proses yang harus diletakkan bahwa siswa
sebagai manusia yang memerlukan pengembangan secara intelektual dan juga
pengendalian emosional dan mendorong spritual. Pendapat yang menyatakan bahwa
siswa kita dijejali dengan materi pelajaran yang overload perlu diperhatikan. Bahkan Kartono berani menyatakan bahwa
sekolah sekarang ini kurang memperhatikan kehidupan masyarakat luas seperti
bagaimana kehidupan di alam bebas, panti asuhan dan masyarakat miskin. Bahkan
cara – cara olahraga dan pentas kesenian sering terabaikan oleh kegiatan
sekolah.[3]
Lingkungan masyarakat seperti
lingkungan kampung dalam masyarakat kemudian organisasi sosial dan keagamaan
tentunya sebagai tempat pembelajaran yang baik bagi siswa di sekolah. Hal ini
merupakan tempat kompetensinya sekolah sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Demikian juga dunia usaha masyarakat menhendaki lingkungan masyarakat dan dunia
usaha sebagai media yang cocok untuk menambah pelajaran di sekolah.
Untuk suatu perubahan kehidupan
sosial pendidikan adalah merupakan wadah sedangkan masyarakat sendiri merupakan
dominasi terhadap tempat bersemainya pendidikan sendiri. Tentang kehidupan sosial
untuk di masa mendatang. Sekolah adalah salah satu bagian penting di dunia
pendidikan adalah tempat di mana untuk menelorkan hasil untuk memahami makna
kehidupan itu sendiri.[4]
Sesuatu yang perlu dipertimbangkan
bahwa ada kesan dalam masyarakat bahwa banyak orangtua berkecenderungan
menyukai sekolah sebagai media pelatihan dasar untuk penyiapan anak dalam
mencapai atau meraih suatu pekerjaan di masa depan. Itulah sebabnya mengapa
sekolah sering dikaitkan dengan keberadaan dunia usaha.
Evaluasi Tahap Akhir
Sampai pada
perkembangan yang terakhir ini bahwa prestasi sekolah masih diukur dari
pencapaian nilai Ebtanas Murnu (NEM). Hal ini menyebabkan semua sekolah berlomba
untuk meningkatkan NEM sebagai tujuan akhir. Masyarakat juga menikmati kebijakan
pendidikan yang selalu mensyaratkan NEM sebagai prasarat untuk memasuki sekolah
yang lebih tinggi. Orang tuapun merasa bangga bahwa anaknya dapat mencapai NEM
yang tinggi, bahkan sering tidak memperdulikan bagaimana unsur afektif pada
diri anak. Pada hal keberhasilan proses pendidikan tidak saja ditentukan oleh
prestasi yang diukur oleh NEM. Dengan kata lain
bahwa keberhasilan seorang anak didik tidak hanya mengacu pada kepada
nilai kognitif yang dimunculkan dalam Intelegenc
quetient (IQ) tetapi harus dipertimbangkan pula kemampuan afektif yang
dimunculkan oleh emotional quotient (EQ).
Bahkan pengembangan sekarang ada kecenderungan bahwa tingkat perkembangan anak
juga perlu dilengkapi dengan spiritual
quotien (SQ). Kemudian menyangkut dalam penilaian dan pembuatan soal-soal
maka bagaimana peranan steakholder dalam pembuatan soal-oal maka ada beberapa
pertanyaan yang menyangkut siapa yang paling berhak menyusun soal – soal
ulangan akhir.
Selama ini diketahui juga bahwa
peranan orangtua dalam pendidikan khususnya peran di sekolah sangat minimal.
Pola pendidikan pada zaman orde baru masih bersifat sentralistik, sehingga pada
saat ini dirasa cukup sulit untuk melakukan pembenahan secara frontal, untuk
itu prosesnya harus secara perlahan dalam proses membenahinya. Bahkan akibat
dari pola sentralistik cenderung membuat pendidikan di daerah dan di sekolah
terpisah dengan pembelajaran lingkungan masyarakat. Implikasi lebih jauh tentu
saja menjauhkan partisipasi masyarakat khususnya orantua dalam penyelenggaraan sekolah.
Data di lapangan juga memperlihatkan
bahwa menurut beberapa kepala sekolah menyatakan bahwa ada kesadaran dari
orangtua sekarang ini berpartisipasi dalam mendukung pendidikan di sekolah, ada
keinginan bahwa untuk meningkatkan mutu pembelajaran jdan menghasilkan anak
didik yang kompetitif. Bahkan dari kebanyakan orangtua menyodorkan adanya
kurikulum tentang muatan lokal seperti dalam hal memajukan bahasa asing. Desentralisasi
pendidikan bukan hanya terbatas kepada pemilihan dan kewenangan mengurus dan
memilih kurikulum tetapi harus sampai kepada menentukan evaluasi tahap akhir.
Sekolah dan guru adalah pihak institusi yang memahami keseharian akan anak
muridnya.
Pertanggungjawaban Kinerja Sekolah
Prinsip otonomi salah satunya adalah
terdapatnya asas demokrasi dalam suatu penyelenggraan urusan dan kewenangannya
sesuatu instansi. Hakikat demokrasi juga menuntut terdapat asas keterbukaan
(transparansi dan prinsip akuntabilitas). Dalam hal ini akan dibahas bagaimana
gambaran pendapat orangtua terhadap tanggungjawab kinerja sekolah menurut latar
belakangnya seperti tingkat pendidikan ayah, penadapatan keluarga dan
pekerjaannya. Mereka yang berpendidikan sampai menengah ke bawah sepertinya
cenderung bahwa pendapatnya menghendaki agar kegiatan sekolah dipertanggungjawabkan
kepada orang tua lebih tinggi dari pada kepada pemerintah dan sekolah sendiri.
Tujuan dari pelaksanaan otonomi
daerah adalah sesuai dengan tuntutan reformasi dan kemajuan kehidupan bangsa,
di mana penyelenggaraan demokrasi menjadi landasan perjuangan berbangsa dan
bernegara. Tuntutan demokrasi tersebut harus direfleksikan dalam
penyelenggaraan tugas wewenang sesuatu urusan dengan terbuka (transparansi) dan
adanya akuntabiltas yang dapat diakses oleh masyarakat.
Data memperlihatkan bahwa tingkat
pendapatan keluarga mengharapkan jika pertanggungjawaban kinerja sekolah perlu
dipertanggungjawabkan kepada orangtua dan masyarakat umumnya pada lokasi
pemukiman komplek di mana umumnya bersifat homogin sebagai tenaga kerja yang
tergabung dalam white color. Namun bagi masyarakat yang berada di pemukiman
bukan komplek justru kepada sekolah dan pemerintah sendiri. Perbedaan ini jika
kita lihat dari komplek dan non komplek di mana masing – masing cluster
mempunyai perbedaan dan kesamaan akan ciri – ciri sosial.
Penutup
Momentum era reformasi,
desentralisasi, otonomi pendidikan, Management Berbasis Masyarakat dan
Management Berbasis Sekolah (MBS) perlu direspon dengan artian positif menuju
kinerja sekolah yang produktif demokratis dan efektif demi pencapaian tujuan
pendidikan yang berkualitas dan bersifat nasional. Berkaitan dengan situasi dan
kondisi tersebut orangtua murid di semua wilayah kota dan Kabupaten harus
semakin diberdayakan agar mengetahui dan memahami “hukum dan konsep demokrasi”
dalam aspek utamanya sebagai steakholder
pendidikan.
Dalam mengartikan pendidikan sebagai
suatu proses untuk menempatkan anak dalam mempersiapkan diri dan belajar dimasa
depan untuk kehidupan masa sekurangnya harus pula memiliki visi dasar terhadap
kepentingan yang bersifat intelektual, emosional dan spritrual. Pendidikan
disini bukan saja tanggungjawab sekolah tetapi juga tanggungjawab keluarga
dalam hal ini orangtua langsung.
Kemudian dalam rangka program MBS
misalnya sangat mungkin mendorong semua yang terlibat dalam dunia pendidikan
(staekholder) harus memiliki kepedulian. Orangtua siswa misalnya adalah
merupakan unsur pendidikan yang tidak boleh begitu saja menyerahkan segala
urusan pendidikan kepada sekolah. Dan bagaimana sekolah melakukan kerjasama
secara kemitraan dengan unsur dunia usaha serta masyarakat lainnya. Orangtua
dalam pandangan sebetulnya seperti apa media pembelajaran yang perlu
ditingkatkan apakah khrakteristik orangtua memiliki gambaran yang berbeda.
Rupanya semakin terdidik orangtua dan semakin mereka memiliki pekerjaan yang
tetap dalam kelompok jenis pekerjaan yang tergabung dalam white color
berpandangan bahwa media di luar kelas perlu diperbanyak atau
ditingkatkan.
Salah satu visi dan misi otonomi
sekolah adalah memberikan keleluasan sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan
secara mandiri sesuai dengan kebutuhan sekolah. Dalam rangka penyelenggaraan
otonomi tersebut perlu dilengkapi dengan prinsip transparansi atau keterbukaan
terutama kepada steakholder sekolah. Prinsup tersebut bisa berjalan melalui
prinsip akuntabilitas sekolah. Untuk itu pertanggungjawaban sekolah ada kecenderungan bahwa orantua perlu memiliki
kewenangan untuk melakukan kontrol terhadap kinerja sekolah tersebut. Hal yang
perlu diperhatikan tampaknya adanya prinsip sekolah yang manaemennya perlu
berbasis kepada kepentingan sekolah dan masyarakat.
Daftar Pustaka
Combs, P.H dkk. 1974 Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui
Pendidikan Non Formal. CV Rajawali, Jakarta.
Escobar, M. Dkk. 1998. Doalog Bareng Paulo Freire (Sekolah Kapitalisme
Yang Licik). LKIS. Yogyakarta.
Hasan, Fuad, 2001.
Pembangunan Pendidikan di Indonesia. LIPI.
Kartono, St. 2002. Menebus Pendidikan Yang Tergadai, Refleksi seorang
Guru. Galang Press. Yogyakarta.
Anggaran
Pendidikan. Kompas 18 Oktober 2000.
Soewaetoyo, 2002. Persepsi dan Aspirasi Daerah Terhadap Desentralisasi
Pendidikan, LIPI.
Paulo, 2000. Politik Pendidikan, Kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan,
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar