PENDAHULUAN
Dalam
sebuah ilustrasi, ada satu rombongan turis yang mengunjungi sebuah desa wisata
yang sangat indah dengan peninggalan masa lalunya yang mengagumkan. Setelah
rombongan turis ini sampai ke desa, mereka melihat seorang kakek, dan bertanya
kepadanya “apakah ada orang di desa ini yang melahirkan seorang pemimpin
hebat”? kakek itu menjawab “yang saya ketahui ibu-ibu di desa ini hanya
melahirkan seorang bayi, saya belum pernah mendengar atau melihat ibu-ibu yang
melahirkan seorang pemimpin di desa ini”. Lebih lanjut kakek itu mengatakan
bahwa pemimpin hebat itu bukan dilahirkan tapi dibesarkan oleh lingkungan dan
masyarakatnya dimana dia dilahirkan. Lihat saja Nabi Muhammad SAW, menjadi
pemimpin terbesar karena beliau mampu memaknai setiap kejadian yang ada di
masyarakatnya. Pemimpin itu dibentuk dan diproses secara utuh oleh
masyarakatnya.
Pertanyaan
kita berikutnya adalah sejak kapankah manusia membutuhkan seorang pemimpin?
Tidak ada yang ketahui persis, tapi menurut konsep kepemimpinan dalam Islam,
manusia membutuhkan pemimpin semenjak adanya kehidupan umat manusia itu
sendiri; setiap orang adalah pemimpin, pemimpin bagi dirinya sendiri, pemimpin
bagi keluarganya, pemimpin bagi masyarakatnya, pemimpin bagi bangsanya, dan
bahkan pemimpin bagi seluruh umat manusia. Rasulullah mencontohkan minimal enam
hal sebagai pedoman bagi seorang pemimpin, yaitu: 1) berlaku adil pada semua
orang tanpa kecuali; 2) memimpin dengan sentuhan rasa “cinta”, empati dan
simpatik yang tiada tara yang dipersembahkan kepada siapapun; 3) pemimpin yang
selalu berkata benar; 4) pemimpin yang selalu menjunjung tinggi amanah; 5)
pemimpin yang memiliki kecerdasan (fathanah: intelektual, emosional, dan
spiritual); dan 6) selalu bersikap transparan (tabliqh).
Dalam bukunya The Effective
Leader Rupert Eales-White (2003) mengatakan bahwa pemimpin (leader)
dan teori kepemimpinan (leadership) sebenarnya meminjam dari istilah
biologi, yaitu head (kepala). Manusia takkan bisa hidup tanpa kepala. Karena di
kepala semua sistem dan struktur hidup manusia terdapat. Mulai dari sistem
otak, mata, telinga, mulut dan sistem saraf lainnya. Itulah mengapa perlu ada
seorang pemimpin. Pemimpin adalah garda depan sebuah sistem perjalanan dan
kehidupan bagi sistem-sistem lain yang sangat terkait erat dengannya. Bagian
dikepalalah yang memandu organ tubuh yang lain. Buku ini menggambarkan ada tiga
relasi antara seorang pemimpin dan bawahannya, yaitu: 1) antara pemimpin dan
bawahan bekerja bersama untuk sebuah tujuan yang bertumpu pada mekanisme kerja yang
saling menguntungkan . 2) pemimpin yang mengedepankan pola-pola delegatif,
bottom-up, instrospektif, dan dialogis. 3) pemimpin yang selalu membimbing,
melatih, dan mendukung bawahan untuk bersikap kreatif atau maju.
Penelitian di Universitas Harvard menyebutkan,
sukses-tidaknya suatu lingkungan kerja, 85% ditentukan oleh sikap pimpinannya.
Bila sikap pempinannya sangat feodalistik, birokratis, dan otoriter, dipastikan
akan melahirkan perusahaan/lembaga yang keropos dan hubungan kerja yang tidak
menyenangkan. Sebaliknya, bila sikap pimpinan didasarkan pada kepercayaan,
penghargaan dan pengakuan kompetensi, bias diyakini, pimpinan dapat mengarahkan
perusahaan atau lembaga menjadi yang terbaik.
Ada dua gaya kepemimpinan yang biasa
diperlihatkan oleh pimpinan. Pertama, gaya kepemimpinan transaksional, yakni
kepemimpinan yang didasarkan pada “transaksi” untuk setiap pekerjan yang
dihadapi. Pimpinan akan memberi imbalan berupa ganjaran atau hukuman (reward
and punishment) atas pelaksanaan dan hasil kerja yang diperintahkan. Kedua,
gaya kepemimpinan transformatif, yaitu kepemimpinan yang dinamis dan selalu
mengadakan pembaharuan. Pemimpin yang seperti ini akan selalu memotivasi
bawahan/staf untuk bekerja guna mencapai sasaran, karena ia sadar perannya
sebagai pendorong, fasilitator, dan katalisator. Dalam hal ini, orientasi
pempinan bukan memupuk kekuasaan, melainkan memuaskan pelanggan dalam arti
seluas-luasnya. Pimpinan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi kelangsungan
inisiatif dan kreatifitas bawahan, yang akan memicu berkembangnya
profesionalisme dalam perusahaan/lembaga yang dipimpinnya.
Menyimak dua gaya kepemimpinan yang telah
dipaparkan di atas, selama ini gaya kepemimpinan transaksional di
perusahaan/lembaga mana saja dan di level mana saja sangat dominan ketimbang
gaya kepemimpinan transformasional. Berikut ini kami akan memaparkan konsep
kepemimpinan transformasional yang sekarang sudah mulai banyak digandrungi oleh
perusahaan atau lembaga.
KONSEP KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
Pad tahun 1980-an, para peneliti
manajemen tertarik pada cara para pemimpin mengubah dan menghidupkan kembali
organisasi-organisasi, yaitu mengubah cara-cara dalam banyak hal demi
kelangsungan hidup dalam menghadapi persaingan ekonomi yang makin kompetitif di
era globalisasi. Kepemimpinan transformasinal menjadi salah satu gaya
kepemimpinan yang paling banyak digandrungi oleh perusahaan/lembaga
professional sekarang untuk menunjuk kepada proses membangun komitmen terhadap
sasaran organisasi dan memberi kepercayaan pada para pengikut untuk mencapai
sasaran-sasaran tersebut.
Konsepsi awal dari kepemimpinan
transformasional adalah diformulasikan oleh Burns (1978), dalam penelitian
deskriptifnya mengenai pemimpin-pemimpin politik, menjelaskan bahwa
kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses, yang didalamnya “para
pemimpin dan pengikut saling menaikkan ketingkat moralitas (spiritualitas) dan
motivasi yang lebih tinggi. Para pemimpin mencoba menimbulkan kesadaran dari
para pengikut dengan menyerukan cita-cita bersama yang lebih tinggi dan
menggunakan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, dan
bukan nilai-nilai yang didasarkan pada sikap emosional seperti keserakahan,
kecemburuan, atau kebencian dalam mencapai tujuan. Lebih lanjut dikatakan bahwa
kepemimpinan transformasional yang dapat dipandang baik adalah: 1) pada tingkat
makro, sabagai sebuah proses mempengaruhi antara para individu, dalam
analisisnya bahwa kepemimpinan transformasional menyangkut tentang bagaimana
membentuk, mengekspresikan, dan menengahi konflik di antara kelompok-kelompok
orang sebagai tambahan terhadap memotivasi orang lain; 2) pada tingkat mikro,
sebagai sebuah proses dalam memobilisasi kekuatan yang ada untuk mengubah
sistem social dan memperbaiki organisasi/lembaga.
Berangkat dari studi yang dilakukan
oleh Burns. Bass (1985) mengusulkan teori baru tentang kepemimpinan
transformasional, bahwa keberadaan pemimpin transformasional diukur, utamanya
dalam istilah-istilah pengaruh pemimpin pada pengikut. Pengikut dari pemimpin transformasional
merasa percaya, loyal dan hormat kepada pemimpin dan termotivasi untuk
melakukan sesuatu yang lebih banyak dari yang diharapkan. Pemimpin
transformasional, memotivasi pengikutnya melalui beberpapa hal berikut: membuat
mereka lebih menyadari pentingnya hasil tugas, mengajak mereka untuk memusatkan
minat pada organisasi, serta mengaktifkan kebutuhan mereka pada tingkat yang
lebih tinggi.
Pada kesempatan yang lain Bass dan
Aviolo (1990) membagi empat komponen kepemimpinan transformasional, yaitu:
-
Kharismatik, yaitu sebuah proses padanya seorang
pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menunjukkan emosi yang matang.
Kematangan emosi ini diidentifikasi oleh pengikutnya sendiri.
-
Stimulasi intelektual (intellectual stimulation), yaitu
sebuah proses yang padanya para pemimpin meningkatkan kesadaran para pengikut
terhadap masalah-masalah yang dihadapi dengan memperkenalkan sebuah perspektif
baru sebagai problem solvingnya.
-
Pertimbangan individu, yaitu memberi dukungan,
membesarkan hati, dan memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada
para pengikutnya.
-
Inspirasi dan motivasi, yaitu sejauh mana seorang
pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yang menarik, menggunakan symbol-simbol
yang untuk menfokuskan usaha-usaha bawahannya, dan meneladani prilaku-prilaku
positif dan sesuai.
Dalam kesempatan yang lebih actual, Anderson (1998),
menggambarkan beberapa hal yang berkaitan dengan kepemimpinan transformasional
sebagai berikut:
1.
Tentang perilaku kepemimpinan transformasional adalah
menyangkut visi, perencanaan, komunikasi, dan tindakan kreatif yang memiliki
efek positif pada sekelompok orang dalam sebuah susunan nilai dan keyakinan
yang jelas, untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan jelas dan
dapat diukur.
2.
Beragam keterampilan yang dibutuhkan dalam perilaku
kepemimpinan transformasional, yaitu:
-
Keterampilan personal
-
Komunikasi interpersonal
-
Pembimbingan dan manajemen masalah
-
Menggagas untuk pengembangan organisasi
-
Luwes, dan sopan dalam menjelaskan sesuatu.
3.
Langkah-langkah dalam perilaku kepemimpinan
transformasional, adalah:
-
memperkirakan
-
merencanakan
-
mengelompokkan
-
memotivasi
-
mengevaluasi dan
-
mengkaji ulang
4.
Peran dan fungsi kepemimpinan transformasional adalah:
-
Sebagai komunikator, yakni mengkomunikasikan impian
bersama, mengkomunikasikan dengan penuh perhatian, dan memahami orang lain
dengan akurat.
-
Sebagai konselor, yakni membantu orang lain mengatasi
masalah, memotivasi orang lain untuk bertindak, membantu orang lain membuat
tujuan yang dapat dicapai, dan membantu orang lain mengekspos dan mengevaluasi.
-
Sebagai konsultan, yakni bertindak sebagai mediator
masyarakat organisasi, melaksanakan proses konsultasi dengan serius, dan
membentuk nilai dan budaya bersama.
TIP MENGKRITIK ATASAN DALAM
PERSPEKTIF TRANSFORMASIONAL
Salah satu upaya membentuk paradigma
baru dalam sebuah pola kepemimpinan adalah dengan membangun hubungan kerja
atasan-bawahan melalui komunikasi yang baik dan kritik yang efektif. Komunikasi
menyangkut interaksi dua arah untuk saling mengisi kelemahan dan kelebihan
masing-masing, sedangkan kritik harus diartikan sebagai harapan terjadinya
perubahan menuju perbaikan. Kritik menjadi masukan yang positif, dan tidak
ditafsirkan sebagai tantangan atau rongrongan terhadap kewibawaan. Jadi, bobot
kebutuhan kritik sama saja dengan kebutuhan komunikasi. Dan itu tidak harus
selalu datang dari atasan. Bawahan pun berhak mengkritik atasan. Yang
terpenting, kritik akhirnya dapat berdampak memotivasi atasan untuk bekerja dan
memberikan pelayanan lebih baik.
Tip mengkritik atasan agar efektif
dan memberi dampak positif adalah sebagai berikut: pertama, pahami dan pelajari
gaya kepemimpinan atasan anda, ia tipe kepemimpinan traksaksional atau
transformasional, dengan mengenali sikap dan gayanya, anda akan lebih mudah
masuk membuka komunikasi dan sekaligus menempatkan diri; kedua, datanglah
sebagai bawahan yang peduli dan ingin membantu atasan. Tunjukkan perhatian anda
dengan memberikan sikap simpatik terhadap apa yang dirasakan pimpinan,
khususnya ambisinya mencetak sukses; ketiga, carilah waktu dan kondisi yang
tepat ketika anda mengkritik. Jangan sekali-kali mengkritik atasan di depan
karyawan lain. Juga, jangan mengkritik saat sang pimpinan dalam keadaan
tertekan karena sedang menghadapi persoalan. Kritik semacam itu selain tidak efektif,
malah bias menjadi bumerang, berbalik menjadi kemarahan yang tidak ada
ujung-pangkalnya; keempat, hindari kritik tanpa argumentasi yang jelas. Kritik
semacam ini hanya akan membuat anda terperosok ke dalam lubang yang anda buat
sendiri. Kritik tanpa penjelasan sama saja dengan upaya memaksakan kehendak;
kelima, setelah mengkritik, tunjukkan peluang keuntungan yang bias dipetik dari
saran atau rekomendasi tersebut. Namun jangan sampai ada kesan menggurui;
terakhir, tunjukkan kritik yang spesifik. Artinya, berikan catatan-catatan yang
lugas, jelas, dan menuju sasaran. Kritik yang sifatnya umum dan samar-samar
justru akan menambah bingung pimpinan. Ingat, bagaimanapun isi saran dan kritik
anda akan mempengaruhi tingkat kredibilitas anda di mata pempinan.
KESIMPULAN
Kepemimpinan transformasional adalah
kepemimpinan yang dinamis dan selalu mengadakan pembaruan dalam organisasi yang
dipimpinnya untuk mencapai tujuan bersama yang diharapkan. Pimpinan seperti ini
akan selalu memotivasi karyawan/bawahannya untuk bekerja guna mencapai sasaran,
karena ia sadar perannya sebagai pendorong, fasilitator dan katalisator. Dalam
hal ini, orientasi pimpinan bukan memupuk kekuasaan, melainkan memuaskan
pelanggan dalam arti seluas-luasnya. Pimpinan membuka kesempatan seluas-luasnya
bagi kelangsungan inisiatif dan kreatifitas bawahan, yang akan memicu
berkembangnya profesionalisme.
Kepemimpinan transformasional tidak
menempatkan bawahan sebagai objek semata yang bias digiring kekiri-kekanan.
Melainkan menempatkan bawahan untuk berperan aktif mengubah paradigma lama
tentang interaksi bawahan-atasan. Paradigma lama manajemen otokratis,
birokratis dan statis harus diganti dengan budaya melayani yang dinamis,
inovatif dan responsive terhadap perubahan-perubahan yang berjalan semakin
cepat.
REFERENSI
Garry A.
Yulk. (1985). Kepemimpinan dalam organisasi. Jakarta: Prenhallindo
Usman, Husaini. (2004). Manajemen pendidikan.
Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Kartono.
(1998). Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada
Eales-White,
Rupert (2004). The effective leader (seri terjemahan). Yogyakarta: Diva
Press
Dikutip
dari internet. (2005). Kepemimpinan melayani.