Minggu, 16 Maret 2014

UAN Sebagai Quality Control





Ujian akhir Nasional (UAN) merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan untuk menentukan standar mutu pendidikan. Kebijakan ini berkaitan dengan berbagai aspek yang dinamis, seperti budaya, kondisi sosial ekonomi, bahkan politik dan keamanan, sehingga akan selalu rentan terhadap perbedaan dan kontroversi sejalan dengan perkembangan masyarakat. Kebijakan tersebut merupakan keputusan politik atau pilitik pendidikan, yang menyangkut kepentingan berbagai pihak, bahkan dalam batas – batas tertentu dapat dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan.
            Hampir seluruh tenaga kependidikan sepakat akan perlunya ujian, untuk mengetahui keefektifan berbagai upaya yang dilakukan dalam proses pendidikan, apakah telah membauhkan hasil yang memuaskan. Namun, karena pemerintah menetapkan nilai UAN minimal yang harus dicapai oleh peserta didik dalam kelulusan, telah menimbulkan beberapa masalah teknis yang dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Masalah tersebut antara lain, karena sifatnya nasional, maka bidang kajian yang di UAN kan dianggap lebih penting dari pada mata pelajaran lain, sehingga sebagian besar upaya sekolah hanya ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan dalam UAN. Padahal materi UAN hanya mencakup aspek intelektual, yang tidak mampu mengukur seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah terjadi malpraktek dengan kesan penyempitan terhadap makna dan hakekat pendidikan yang utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif dengan mata kajian pada yang diujikan. Kecakapan motorik, sosial, emosinal, moral atau budi pekerti, dan aspek spritual dianggap diabaikan. Padahal aspek – aspek tersebut ditekankan dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan yang kontropersial, di satu sisi menggulirkan MBS dan Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, di sisi lain juga menggulirkan NUAN sebagai syarat kelulusan, sehingga menimbulkan berbagai kesalahtafsiran para pelaksanaan di lapangan.
            Tujuan pemerintah memang baik untuk mendongkrak kualitas pendidikan, dengan menetapkan standar minimal 4,50 karena standar dunia – pun 6,0, jadi wajar kalau pemerintah menetapkan hal tersebut. Namun hal tersebut digulirkan dalam kondisi masyarakat yang labil, sehingga banyak menimbulkan kesalahtafsiran, bahkan penolakkan. Masyarakat yang tidak menerima juga tidak bisa disalahkan, kerena pemerintah hanya menuntut tanpa melengkapi dengan alat dan sarananya. Seharusnya tiap kebijakan diikuti dengan sub – sub kebijakan lain yang menunjang pelaksanaannya di lapangan, seperti, sarana, prasarana, dan laboratorium; bahkan meningkatkan profesionalime tenaganya.
            Kondisi inilah yang sering menghambat peningkatan kualitas pendidikan, apalagi jika kebijakan pemerintah itu hanya dijadikan semacam proyek, yang ketika habis dananya maka berakhir pula pelaksanaannya. Kita bisa menyaksikan tentang nasib CBSA, keterampilan proses, linka and macth, dan lain – lain produk pemerintah yang tidak jelas ujung pangkalnya, tahu – tahu sudah harus diganti. Pergantian juga sering tidak ditunjang oleh data, yang ada hanyalah bahwa dirjennya, menterinya, atau mungkin presidennya diganti, sehingga perlu dilakukan perubahan.
            Lepas dari berbagai keterbatasan dan kelemahan tersebut, melalui UAN, pemerintah memiliki kepentingan untuk mengetahui kemampuan lulusan pendidikan dari berbagai jenjang dalam bidang kajian tertentu, sebagai indikator keberhasilan sistem pendidikan. Kita juga ingin tahu kemampuan anak – anak dalam berhitung, bahasa, ilmu pengetahuan alam, dan sebagainya, paling tidak yang dapat dijaring melalui UAN, dan membandingkannya antar wilayah, kabupaten atau kota, bahkan antar sekolah. Kepentingan pemerintah untuk mengetahui hasil pendidikan secara nasional merupakan kepentingan lembaga bukan bersifat pribadi, dan merupakan pesan Undang – undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Th. 2003. Bahkan maksud dari Undang – undang tersebut bukan sekedar UAN, tetapi menyangkut penilaian kinerja seluruh komponen sistem pendidikan.
            Akhirnya, perlu ditegaskan disini bahwa UAN itu lebih tepat digunakan untuk melihat keberhasilan kurikulum dan pendidikan secara keseluruhan, bukan untuk menilai keberhasilan peserta didik. Sistem penilaian keberhasilan peserta didik dalam Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi sebaiknya diserahkan kepada daerah dan sekolah, dalam bentuk penilaian berbasis kelas (PKB), atau clasroom based evaluation (CBE).

PERSEPSI ORANGTUA SISWA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN



PERSEPSI ORANGTUA SISWA TERHADAP
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN



ABSTRAK

Sejalan dengan dilaksanakan otonomi daerah yang menjadi bagian pemindahan urusan pusat kepada daerah dan khususnya berbasis masyarakat setemapat maka peranan orangtua juga menjadi utama. Pendidikan sendiri perlu tumbuh dari masyarakat demikian halnya inisiatif juga muncul melalui masyarakat sendiri. Sehingga pada hakekatnya kebijakan yang menekankan kepada desentralisasi pendidikan adalah tata pemerintahan dalam bidang pendidikan yang dulunya berpedoman pada birocracy based management menjadi school based management. Program ini menawarkan desentralisasi sekolah untuk mengurus kewenangannya secara otonom akibat terjadinya pelimpahan wewenang pemerintahan dari pusat kepada daerah/Kota. Desentralisasi pendidikan bukan hanya terbatas kepada pemilihan dan kewenangan mengurus dan memilih kurikulum tetapi harus sampai kepada menentukan evaluasi tahap akhir. Sekolah dan guru adalah pihak institusi yang memahami keseharian akan anak muridnya.

Kata kunci : Orang Tua SIswa (Masyrakat), Penyelenggaraan, Pendidikan.  

Pendahuluan

            Pada konteks reformasi, desentralisasi, otonomi pendidikan dan Management Berbsis Masyarakat, maka peranan orangtua menjadi penting keikutsertaannya dalam merumuskan program penyelenggaraan pendidikan maupun kegiatan sekolah. Keikutsertaan orangtua siswa tidak saja kepada hal yang bersifat pendanaan, tetapi dalam pengawasan, terhadap jalannya penyelenggraan sekolah, juga orangtua mempunyai hak untuk meminta pertanggungjawaban terhadap kinerja sekolah karena dialah yang turut serta membayar/mendanai sekolah. Namun apakah hal itu sudah menjadi sesuatu yang disadari, atau baru dalam proses untuk menuju kepada kesadaran itu. Oleh karenanya tulisan ini akan menjadi satu tahapan penting untuk menuju kepada kesadaran masyarakat terutama orangtua.
            Penyelenggaraan pendidikan pada era orde baru maupun pada masa pemerintahan sebelumnya yang bersifat sentralistik di mana ditunjukkan bahwa urusan pendidikan adalah merupakan sepenuhnya tugas dan wewenang pemerintah pusat. Sesuai dengan UUD 1945 yang telah diamandir bahwa pemerintah menugaskan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang – undang. Namun secara geografis luasnya wilayah dan heteroginitasnya masyarakat memerlukan kearifan dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. Bersamaan dengan berlakunya UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan didaerah maka, Kota maupun Kabupaten mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kewenangan yang dimiliki. Kemudian sesuai dengan ayat 5 bab XIII UUD 1945 yang diamandemen pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai – nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesjahteraan umat manusia.   
            Dalam era desentralisasi sejalan dengan dilaksanakan otonomi daerah yang menjadi bagian pemindahan urusan pusat kepada daerah dan khususnya berbasis masyarakat setemapat maka peranan orangtua juga menjadi utama. Pendidikan sendiri perlu tumbuh dari masyarakat demikian halnya inisiatif juga muncul melalui masyarakat sendiri. Sehingga pada hakekatnya kebijakan yang menekankan kepada desentralisasi pendidikan adalah tata pemerintahan dalam bidang pendidikan yang dulunya berpedoman pada birocracy based management menjadi school based management. Program ini menawarkan desentralisasi sekolah untuk mengurus kewenangannya secara otonom akibat terjadinya pelimpahan wewenang pemerintahan dari pusat kepada daerah/Kota.
Kemudian penyelenggaraan program pendidikan sebagai salah satu proses pelaksanaan belajar siswa adalah institusi sekolah. Di daerah dewasa ini sesuai dengan semangat otonominya maka orangtua siswa khususnya di SLTP pada hakekatnya mempunyai kewajiban untuk ikut menentukan program pendidikan yang akan diajukan kepada anak didiknya. Meskipun secara outentik dalam aturan perundang – undangan tentang kependidikan bahwa peran orangtua tidak tertuang secara jelas dalam pasal – pasal. Namun secara kenyataan dalam kehidupan pendidikan sehari – hari peran orangtua cukup besar dalam mendidik anaknya baik pengaruhnya terhadap siswa disekolah maupun dalam kehidupan sosialnya. Dalam hal ini pertanyaan yang diajukan adalah : Seperti siapakah yang paling berhak menentukan program pendidikan di sekolah ? ; siapakah yang paling berhak menyusun soal – soal ujian akhir dan kepada siapakah sekolah bertanggungjawabkan kinerjanya ?; Hal ini adalah merupakan inti perkembangan demokrasi jika jawaban mereka (orangtua) tueut serta dalam kewenangan yang dipertanyakan tersebut. Namun demikian pendapat seseorang antara satu dan lainnya tentu saja akan beragam sesuai dengan latar belakang kehidupan sosialnya. Misalnya pandangan orang yang terdidik mungkin akan berbeda dengan mereka yang tidak berpendidikan, seseorang yang menganut etnis atau agama tertentu mungkin ada perbedaan dalam memandang sesuatu dinamika social. Menyadari akan hal tersebut kiranya analisa pendapat atau padangan orangtua terhadap penyelenggaraan pendidikan tersebut adalah perlu dilihat.
Peranan orangtua dalam pendidikan sebetulnya selaras dengan semangat management sekolah yang berbasis masyarakat dimana peranan orangtua sebagai steakholeder pendidikan juga berperanan utama selain civitas sekolah sendiri. Bahkan sedikit agak rancu jika dikaitkan dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini dimana sekolah sebetulnya mempunyai wewenang untuk melaksanakan dan memutuskan kepentingannya sendiri sesuai dengan prinsip management berbasis sekolah maupun masyarakat. Namun kenyataannya ada beberapa hal dimana suatu ketika dinas kota memiliki kewenangan untuk campur seperti dalam hal personalia penyelenggaraan sekolah.   



Keikutsertaan Orangtua Dalam Program Pendidikan
      
Pendidikan yang menyangkut proses belajar siswa secara formal, tidak dapat dipisahkan antara peran siswa termasuk orangtua, institusi pendidikan (sekolah) dan juga guru sebagai pengajar.[1] Mengungkap bahwa ada tiga sistem organisasi untuk belajar dengan pendekatan kepada siswa anak sekolah yaitu sistem yang berinduk kepada institusi pendidikan atau sekolah (institution based system), sistem lokal (local system).
Pelibatan orangtua dalam pendidikan tampaknya sangat diperlukan tidak saja pada persoalan biaya tetapi lebih luas dari itu seperti bagaimana mereka harus turut serta memikirkan proses ajar mengajar yang diselenggrakan sekolah. Oleh karenanya orangtua tentu saja perlu terlibat dalam segala tahapan dalam proses penyelenggraan pendidikan. Hasil survei menunjukkan bahwa umumnya masyarakat berpendapat program pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah dan sekolah. Ini sudah merupakan pernyataan yang cukup ada kemajuan jika program pendidikan tidak saja tanggungjawab dari pemerintah pusat. Artinya bahwa alam reformasi yang menghendaki prinsip keterbukaan dan demokrasi kepada steakholder sudah mulai berjalan. Meskipun kita juga mengerti bahwa ekolah pada dasarnya pada Orde Baru menjadi kepanjangan tangan dari instansi pendidikan pemerintah pusat. Berdasarkan data bahwa pendapat terbesar setelah pandangan diatas bahwa program pendidikan merupakan tanggung jawab sekolah dan orangtua. Gambaran tersebut kembali lagi bahwa peranan sekolah adalah menjadi penting demikian juga orangtua sebagai pemakai (user) pendidikan setidaknya adalah mempunyai kepentingan terhadap keberhasilan anak/siswa untuk meraih hasil pendidikan sekolah yang dipilih. Kondisi ini menunjukkan bahwa sudah terjadi pergeseran barangkali bahwa pendidikan harus dipikirkan melalui kelembagaan sendiri atau yang bersifat otonom.tampaknya ada kecenderungan bahwa sekolah sendiri sudah dan akan dilaksanakan suatu management yang berbasis masyarakat dan sekolah, sehingga sekolah adalah lebih bersifat mandiri. Meskipun demikian masih terlihat kecenderungan nahwa semangat untuk berdiri sendiri dalam hal program masih ditagukan sekurangnya ada sekitar 14 persen yang menyatakan bahwa program sekola seyogyanya masih perlu dipegang oleh pemerintah. Di mana penanggungjawab program pendidikan nasional masih berada ditangan Departemen Pendidikan nasional di pusat. Pendapat ini mungkin penting bagaimana daerah bisa merespon program pendidikan yang sementara ini pemerintah pusat sebagai penanggungjawab pendidikan nasional. Maka tentunya perlu kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah dalam rangka desentralisasi.
Dalam semangat demokrasi dan otonomi ada “streotip” bahwa masyarakat mempunyai kewenangan untuk menentukan kepengurusan, kelembagaannya sendiri. Seorang pengamat pendidikan dari Taman Siswa yakni Ki Supriyoko (2000) pernah menyatakan bahwa baik secara teoritik maupun empirik bahwa besar kecilnya anggran pendidikan mempunyai korelasi positif terhadap kinerja pendidikan secara nasional. Ada kecenderungan empirik dimana semakin besar anggaran yang dialokasikan kepada pendidikan akan semakin baik kinerja pendidikan yang bersangkutan. Sejak lama sebetulnya masyarakat juga menghendaki adanya peningkatan anggaran pendidikan secara nasional, namun yang diharapkan hingga kinipun belum juga kunjung kelihatan. Dalam ukuran lebih kecil seperti pemerintah Kota Bima sudah menyadari hal tersebut seperti hasil wawancara singkat dengan berbagai pihak di Kota Bima. Dengan bersamaan ini pula yang telah terjadi adalah adanya kemauan politik pemerintah dan DPR untuk meningkatkan anggaran pendidikan. Pada skal mikro sekolah juga perlu meningkatkan anggarannya. Yang tampak justru biaya sekolah bagi orangtua murid setiap tahun selalu meningkat.
Pendapat tentang biaya sekolah, tentu saja orangtua dan sekolah ada kemungkinan perlu mempunyai kewenangan tentang besarnya pungutan untuk sekolah. Karena yang paling tahu biaya sekolah dan kepentingannya adalah sekolah sendiri. Hal lain yang harus diperhatikan adalah kemampuan orangtua. Berkaitan dengan hal tersebut bahwa 75,5 persen menyatakan pandangannya bahwa yang paling berhak menentukan besarnya pembayaran uang sekolah adalah sekolah dan orangtua murid. Uang sekoah yang dimaksud disini dapat mencakup uang SPP dan uang gedung bagi murid baru. Pendapat ini tentu saja secara mekanisme telah diperlihatkan oleh lembaga Komite Sekolah yang anggotanya adalah terdiri dari orangtua siswa dan guru. 
Dewasa ini persoalan sekolah berkaitan dengan seberapa besar uang sekolah yang harus dikeluarkan oleh orangtua dalam mendukung proses belajar mengajar. Asumsinya jika orangtua semakin baik tingkat pendidikan akan memiliki tingkat partisipasi yang meningkat terhadap pendidikan. Kepedulian orangtua tentu saja tidak saja kepada biaya pendidikan itu sendiri. Sesuai dengan era reformasi pendidikan dimana program pendidikan harus mengacu kepada kepentingan masyarakat setempat seperti kurikulum dan anggaran sekolah. Dalam hal kekurangan pendapatan sekolah pemerintah juga perlu mendukung dengan anggaran pendidikan semakin besar. Terutama pungutan pendidikan kepada orangtua harus mengacu kepada sistem “subsidi silang” yakni orangtua kaya perlu memberikan subsidi terhadap orangtua miskin.

Media Pembelajaran di Kelas atau di Luar Sekolah
            Pada dasarnya bahwa bangsa kita belum menyadari betul akan pentingnya kebinakaannya. Hal – hal pelajaran yang bersifat penyeragaman dan bersifat politik pusat harus diakhiri.[2] Sifat dari pendidikan harus berubah dari “schooling menjadi lerarning” dalam proses pendidikan yang mempunyai tujuan kemasa depan dan menghadapi kehidupan tentu saja tidak akan lepas hubungannya dengan lingkungan masyarakat. Oleh karena itu proses ajar – mengajar tidak boleh tergantung kepada kegiatan di kelas saja, tetapi juga perlu memanfaatkan sumber pembelajaran lainnya yang ada didalam masyarakat atau lingkungan yang ada. Sehingga perlu dipikirkan juga kurikulum yang mendasarkan kepada filosofi competence sebagai alternatif dalam pelaksanaan otonomi sekolah. Namun dalam program kurikulum yang akan datang (2007) perlu berbasis kompetensi masyarakat.
            Dipihak lain ering dinyatakan bahwa visi pendidikan adalah sebagai suatu proses yang harus diletakkan bahwa siswa sebagai manusia yang memerlukan pengembangan secara intelektual dan juga pengendalian emosional dan mendorong spritual. Pendapat yang menyatakan bahwa siswa kita dijejali dengan materi pelajaran yang overload perlu diperhatikan. Bahkan Kartono berani menyatakan bahwa sekolah sekarang ini kurang memperhatikan kehidupan masyarakat luas seperti bagaimana kehidupan di alam bebas, panti asuhan dan masyarakat miskin. Bahkan cara – cara olahraga dan pentas kesenian sering terabaikan oleh kegiatan sekolah.[3]    
            Lingkungan masyarakat seperti lingkungan kampung dalam masyarakat kemudian organisasi sosial dan keagamaan tentunya sebagai tempat pembelajaran yang baik bagi siswa di sekolah. Hal ini merupakan tempat kompetensinya sekolah sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Demikian juga dunia usaha masyarakat menhendaki lingkungan masyarakat dan dunia usaha sebagai media yang cocok untuk menambah pelajaran di sekolah.
            Untuk suatu perubahan kehidupan sosial pendidikan adalah merupakan wadah sedangkan masyarakat sendiri merupakan dominasi terhadap tempat bersemainya pendidikan sendiri. Tentang kehidupan sosial untuk di masa mendatang. Sekolah adalah salah satu bagian penting di dunia pendidikan adalah tempat di mana untuk menelorkan hasil untuk memahami makna kehidupan itu sendiri.[4]
            Sesuatu yang perlu dipertimbangkan bahwa ada kesan dalam masyarakat bahwa banyak orangtua berkecenderungan menyukai sekolah sebagai media pelatihan dasar untuk penyiapan anak dalam mencapai atau meraih suatu pekerjaan di masa depan. Itulah sebabnya mengapa sekolah sering dikaitkan dengan keberadaan dunia usaha.



Evaluasi Tahap Akhir
  
Sampai pada perkembangan yang terakhir ini bahwa prestasi sekolah masih diukur dari pencapaian nilai Ebtanas Murnu (NEM). Hal ini menyebabkan semua sekolah berlomba untuk meningkatkan NEM sebagai tujuan akhir. Masyarakat juga menikmati kebijakan pendidikan yang selalu mensyaratkan NEM sebagai prasarat untuk memasuki sekolah yang lebih tinggi. Orang tuapun merasa bangga bahwa anaknya dapat mencapai NEM yang tinggi, bahkan sering tidak memperdulikan bagaimana unsur afektif pada diri anak. Pada hal keberhasilan proses pendidikan tidak saja ditentukan oleh prestasi yang diukur oleh NEM. Dengan kata lain  bahwa keberhasilan seorang anak didik tidak hanya mengacu pada kepada nilai kognitif yang dimunculkan dalam Intelegenc quetient (IQ) tetapi harus dipertimbangkan pula kemampuan afektif yang dimunculkan oleh emotional quotient (EQ). Bahkan pengembangan sekarang ada kecenderungan bahwa tingkat perkembangan anak juga perlu dilengkapi dengan spiritual quotien (SQ). Kemudian menyangkut dalam penilaian dan pembuatan soal-soal maka bagaimana peranan steakholder dalam pembuatan soal-oal maka ada beberapa pertanyaan yang menyangkut siapa yang paling berhak menyusun soal – soal ulangan akhir.
            Selama ini diketahui juga bahwa peranan orangtua dalam pendidikan khususnya peran di sekolah sangat minimal. Pola pendidikan pada zaman orde baru masih bersifat sentralistik, sehingga pada saat ini dirasa cukup sulit untuk melakukan pembenahan secara frontal, untuk itu prosesnya harus secara perlahan dalam proses membenahinya. Bahkan akibat dari pola sentralistik cenderung membuat pendidikan di daerah dan di sekolah terpisah dengan pembelajaran lingkungan masyarakat. Implikasi lebih jauh tentu saja menjauhkan partisipasi masyarakat khususnya orantua dalam penyelenggaraan sekolah.
            Data di lapangan juga memperlihatkan bahwa menurut beberapa kepala sekolah menyatakan bahwa ada kesadaran dari orangtua sekarang ini berpartisipasi dalam mendukung pendidikan di sekolah, ada keinginan bahwa untuk meningkatkan mutu pembelajaran jdan menghasilkan anak didik yang kompetitif. Bahkan dari kebanyakan orangtua menyodorkan adanya kurikulum tentang muatan lokal seperti dalam hal memajukan bahasa asing. Desentralisasi pendidikan bukan hanya terbatas kepada pemilihan dan kewenangan mengurus dan memilih kurikulum tetapi harus sampai kepada menentukan evaluasi tahap akhir. Sekolah dan guru adalah pihak institusi yang memahami keseharian akan anak muridnya.

Pertanggungjawaban Kinerja Sekolah
            Prinsip otonomi salah satunya adalah terdapatnya asas demokrasi dalam suatu penyelenggraan urusan dan kewenangannya sesuatu instansi. Hakikat demokrasi juga menuntut terdapat asas keterbukaan (transparansi dan prinsip akuntabilitas). Dalam hal ini akan dibahas bagaimana gambaran pendapat orangtua terhadap tanggungjawab kinerja sekolah menurut latar belakangnya seperti tingkat pendidikan ayah, penadapatan keluarga dan pekerjaannya. Mereka yang berpendidikan sampai menengah ke bawah sepertinya cenderung bahwa pendapatnya menghendaki agar kegiatan sekolah dipertanggungjawabkan kepada orang tua lebih tinggi dari pada kepada pemerintah dan sekolah sendiri.
            Tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah sesuai dengan tuntutan reformasi dan kemajuan kehidupan bangsa, di mana penyelenggaraan demokrasi menjadi landasan perjuangan berbangsa dan bernegara. Tuntutan demokrasi tersebut harus direfleksikan dalam penyelenggaraan tugas wewenang sesuatu urusan dengan terbuka (transparansi) dan adanya akuntabiltas yang dapat diakses oleh masyarakat.
            Data memperlihatkan bahwa tingkat pendapatan keluarga mengharapkan jika pertanggungjawaban kinerja sekolah perlu dipertanggungjawabkan kepada orangtua dan masyarakat umumnya pada lokasi pemukiman komplek di mana umumnya bersifat homogin sebagai tenaga kerja yang tergabung dalam white color. Namun bagi masyarakat yang berada di pemukiman bukan komplek justru kepada sekolah dan pemerintah sendiri. Perbedaan ini jika kita lihat dari komplek dan non komplek di mana masing – masing cluster mempunyai perbedaan dan kesamaan akan ciri – ciri sosial.
Penutup
             
            Momentum era reformasi, desentralisasi, otonomi pendidikan, Management Berbasis Masyarakat dan Management Berbasis Sekolah (MBS) perlu direspon dengan artian positif menuju kinerja sekolah yang produktif demokratis dan efektif demi pencapaian tujuan pendidikan yang berkualitas dan bersifat nasional. Berkaitan dengan situasi dan kondisi tersebut orangtua murid di semua wilayah kota dan Kabupaten harus semakin diberdayakan agar mengetahui dan memahami “hukum dan konsep demokrasi” dalam aspek utamanya sebagai steakholder pendidikan.
            Dalam mengartikan pendidikan sebagai suatu proses untuk menempatkan anak dalam mempersiapkan diri dan belajar dimasa depan untuk kehidupan masa sekurangnya harus pula memiliki visi dasar terhadap kepentingan yang bersifat intelektual, emosional dan spritrual. Pendidikan disini bukan saja tanggungjawab sekolah tetapi juga tanggungjawab keluarga dalam hal ini orangtua langsung.
            Kemudian dalam rangka program MBS misalnya sangat mungkin mendorong semua yang terlibat dalam dunia pendidikan (staekholder) harus memiliki kepedulian. Orangtua siswa misalnya adalah merupakan unsur pendidikan yang tidak boleh begitu saja menyerahkan segala urusan pendidikan kepada sekolah. Dan bagaimana sekolah melakukan kerjasama secara kemitraan dengan unsur dunia usaha serta masyarakat lainnya. Orangtua dalam pandangan sebetulnya seperti apa media pembelajaran yang perlu ditingkatkan apakah khrakteristik orangtua memiliki gambaran yang berbeda. Rupanya semakin terdidik orangtua dan semakin mereka memiliki pekerjaan yang tetap dalam kelompok jenis pekerjaan yang tergabung dalam white color berpandangan bahwa media di luar kelas perlu diperbanyak atau ditingkatkan.  
            Salah satu visi dan misi otonomi sekolah adalah memberikan keleluasan sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan secara mandiri sesuai dengan kebutuhan sekolah. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi tersebut perlu dilengkapi dengan prinsip transparansi atau keterbukaan terutama kepada steakholder sekolah. Prinsup tersebut bisa berjalan melalui prinsip akuntabilitas sekolah. Untuk itu pertanggungjawaban sekolah ada  kecenderungan bahwa orantua perlu memiliki kewenangan untuk melakukan kontrol terhadap kinerja sekolah tersebut. Hal yang perlu diperhatikan tampaknya adanya prinsip sekolah yang manaemennya perlu berbasis kepada kepentingan sekolah dan masyarakat.        


Daftar Pustaka

Combs, P.H dkk. 1974 Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Non Formal. CV Rajawali, Jakarta.

Escobar, M. Dkk. 1998. Doalog Bareng Paulo Freire (Sekolah Kapitalisme Yang Licik). LKIS. Yogyakarta.

Hasan, Fuad, 2001. Pembangunan Pendidikan di Indonesia. LIPI.

Kartono, St. 2002. Menebus Pendidikan Yang Tergadai, Refleksi seorang Guru. Galang Press. Yogyakarta.

Anggaran Pendidikan. Kompas 18 Oktober 2000.

Soewaetoyo, 2002. Persepsi dan Aspirasi Daerah Terhadap Desentralisasi Pendidikan, LIPI.

Paulo, 2000. Politik Pendidikan, Kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.










[1] Pevical dan Ellington, Teknologi Pendidikan 1989; Hal. 26. 
[2]  Darmaningtyas, 1995.
[3]  Kartono, 2002. Menebus Pendidikan Yang Tergadai. Galang Press Yogyakarta.  
[4]  Paulo, 1998. Politik Pendidikan, Kebudyaan, kekuasaan dan pembebasan.  Hal. 5-6. 

KONSEP KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL



PENDAHULUAN

            Dalam sebuah ilustrasi, ada satu rombongan turis yang mengunjungi sebuah desa wisata yang sangat indah dengan peninggalan masa lalunya yang mengagumkan. Setelah rombongan turis ini sampai ke desa, mereka melihat seorang kakek, dan bertanya kepadanya “apakah ada orang di desa ini yang melahirkan seorang pemimpin hebat”? kakek itu menjawab “yang saya ketahui ibu-ibu di desa ini hanya melahirkan seorang bayi, saya belum pernah mendengar atau melihat ibu-ibu yang melahirkan seorang pemimpin di desa ini”. Lebih lanjut kakek itu mengatakan bahwa pemimpin hebat itu bukan dilahirkan tapi dibesarkan oleh lingkungan dan masyarakatnya dimana dia dilahirkan. Lihat saja Nabi Muhammad SAW, menjadi pemimpin terbesar karena beliau mampu memaknai setiap kejadian yang ada di masyarakatnya. Pemimpin itu dibentuk dan diproses secara utuh oleh masyarakatnya.
            Pertanyaan kita berikutnya adalah sejak kapankah manusia membutuhkan seorang pemimpin? Tidak ada yang ketahui persis, tapi menurut konsep kepemimpinan dalam Islam, manusia membutuhkan pemimpin semenjak adanya kehidupan umat manusia itu sendiri; setiap orang adalah pemimpin, pemimpin bagi dirinya sendiri, pemimpin bagi keluarganya, pemimpin bagi masyarakatnya, pemimpin bagi bangsanya, dan bahkan pemimpin bagi seluruh umat manusia. Rasulullah mencontohkan minimal enam hal sebagai pedoman bagi seorang pemimpin, yaitu: 1) berlaku adil pada semua orang tanpa kecuali; 2) memimpin dengan sentuhan rasa “cinta”, empati dan simpatik yang tiada tara yang dipersembahkan kepada siapapun; 3) pemimpin yang selalu berkata benar; 4) pemimpin yang selalu menjunjung tinggi amanah; 5) pemimpin yang memiliki kecerdasan (fathanah: intelektual, emosional, dan spiritual); dan 6) selalu bersikap transparan (tabliqh).
            Dalam bukunya The Effective Leader Rupert Eales-White (2003) mengatakan bahwa pemimpin (leader) dan teori kepemimpinan (leadership) sebenarnya meminjam dari istilah biologi, yaitu head (kepala). Manusia takkan bisa hidup tanpa kepala. Karena di kepala semua sistem dan struktur hidup manusia terdapat. Mulai dari sistem otak, mata, telinga, mulut dan sistem saraf lainnya. Itulah mengapa perlu ada seorang pemimpin. Pemimpin adalah garda depan sebuah sistem perjalanan dan kehidupan bagi sistem-sistem lain yang sangat terkait erat dengannya. Bagian dikepalalah yang memandu organ tubuh yang lain. Buku ini menggambarkan ada tiga relasi antara seorang pemimpin dan bawahannya, yaitu: 1) antara pemimpin dan bawahan bekerja bersama untuk sebuah tujuan yang bertumpu pada mekanisme kerja yang saling menguntungkan . 2) pemimpin yang mengedepankan pola-pola delegatif, bottom-up, instrospektif, dan dialogis. 3) pemimpin yang selalu membimbing, melatih, dan mendukung bawahan untuk bersikap kreatif atau maju.
            Penelitian di Universitas Harvard menyebutkan, sukses-tidaknya suatu lingkungan kerja, 85% ditentukan oleh sikap pimpinannya. Bila sikap pempinannya sangat feodalistik, birokratis, dan otoriter, dipastikan akan melahirkan perusahaan/lembaga yang keropos dan hubungan kerja yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, bila sikap pimpinan didasarkan pada kepercayaan, penghargaan dan pengakuan kompetensi, bias diyakini, pimpinan dapat mengarahkan perusahaan atau lembaga menjadi yang terbaik.
            Ada dua gaya kepemimpinan yang biasa diperlihatkan oleh pimpinan. Pertama, gaya kepemimpinan transaksional, yakni kepemimpinan yang didasarkan pada “transaksi” untuk setiap pekerjan yang dihadapi. Pimpinan akan memberi imbalan berupa ganjaran atau hukuman (reward and punishment) atas pelaksanaan dan hasil kerja yang diperintahkan. Kedua, gaya kepemimpinan transformatif, yaitu kepemimpinan yang dinamis dan selalu mengadakan pembaharuan. Pemimpin yang seperti ini akan selalu memotivasi bawahan/staf untuk bekerja guna mencapai sasaran, karena ia sadar perannya sebagai pendorong, fasilitator, dan katalisator. Dalam hal ini, orientasi pempinan bukan memupuk kekuasaan, melainkan memuaskan pelanggan dalam arti seluas-luasnya. Pimpinan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi kelangsungan inisiatif dan kreatifitas bawahan, yang akan memicu berkembangnya profesionalisme dalam perusahaan/lembaga yang dipimpinnya.
                Menyimak dua gaya kepemimpinan yang telah dipaparkan di atas, selama ini gaya kepemimpinan transaksional di perusahaan/lembaga mana saja dan di level mana saja sangat dominan ketimbang gaya kepemimpinan transformasional. Berikut ini kami akan memaparkan konsep kepemimpinan transformasional yang sekarang sudah mulai banyak digandrungi oleh perusahaan atau lembaga.

KONSEP KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL


            Pad tahun 1980-an, para peneliti manajemen tertarik pada cara para pemimpin mengubah dan menghidupkan kembali organisasi-organisasi, yaitu mengubah cara-cara dalam banyak hal demi kelangsungan hidup dalam menghadapi persaingan ekonomi yang makin kompetitif di era globalisasi. Kepemimpinan transformasinal menjadi salah satu gaya kepemimpinan yang paling banyak digandrungi oleh perusahaan/lembaga professional sekarang untuk menunjuk kepada proses membangun komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi kepercayaan pada para pengikut untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut.
            Konsepsi awal dari kepemimpinan transformasional adalah diformulasikan oleh Burns (1978), dalam penelitian deskriptifnya mengenai pemimpin-pemimpin politik, menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses, yang didalamnya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan ketingkat moralitas (spiritualitas) dan motivasi yang lebih tinggi. Para pemimpin mencoba menimbulkan kesadaran dari para pengikut dengan menyerukan cita-cita bersama yang lebih tinggi dan menggunakan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, dan bukan nilai-nilai yang didasarkan pada sikap emosional seperti keserakahan, kecemburuan, atau kebencian dalam mencapai tujuan. Lebih lanjut dikatakan bahwa kepemimpinan transformasional yang dapat dipandang baik adalah: 1) pada tingkat makro, sabagai sebuah proses mempengaruhi antara para individu, dalam analisisnya bahwa kepemimpinan transformasional menyangkut tentang bagaimana membentuk, mengekspresikan, dan menengahi konflik di antara kelompok-kelompok orang sebagai tambahan terhadap memotivasi orang lain; 2) pada tingkat mikro, sebagai sebuah proses dalam memobilisasi kekuatan yang ada untuk mengubah sistem social dan memperbaiki organisasi/lembaga.
            Berangkat dari studi yang dilakukan oleh Burns. Bass (1985) mengusulkan teori baru tentang kepemimpinan transformasional, bahwa keberadaan pemimpin transformasional diukur, utamanya dalam istilah-istilah pengaruh pemimpin pada pengikut. Pengikut dari pemimpin transformasional merasa percaya, loyal dan hormat kepada pemimpin dan termotivasi untuk melakukan sesuatu yang lebih banyak dari yang diharapkan. Pemimpin transformasional, memotivasi pengikutnya melalui beberpapa hal berikut: membuat mereka lebih menyadari pentingnya hasil tugas, mengajak mereka untuk memusatkan minat pada organisasi, serta mengaktifkan kebutuhan mereka pada tingkat yang lebih tinggi.
            Pada kesempatan yang lain Bass dan Aviolo (1990) membagi empat komponen kepemimpinan transformasional, yaitu:
-          Kharismatik, yaitu sebuah proses padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menunjukkan emosi yang matang. Kematangan emosi ini diidentifikasi oleh pengikutnya sendiri.
-          Stimulasi intelektual (intellectual stimulation), yaitu sebuah proses yang padanya para pemimpin meningkatkan kesadaran para pengikut terhadap masalah-masalah yang dihadapi dengan memperkenalkan sebuah perspektif baru sebagai problem solvingnya.
-          Pertimbangan individu, yaitu memberi dukungan, membesarkan hati, dan memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikutnya.
-          Inspirasi dan motivasi, yaitu sejauh mana seorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yang menarik, menggunakan symbol-simbol yang untuk menfokuskan usaha-usaha bawahannya, dan meneladani prilaku-prilaku positif dan sesuai.

Dalam kesempatan yang lebih actual, Anderson (1998), menggambarkan beberapa hal yang berkaitan dengan kepemimpinan transformasional sebagai berikut:
1.      Tentang perilaku kepemimpinan transformasional adalah menyangkut visi, perencanaan, komunikasi, dan tindakan kreatif yang memiliki efek positif pada sekelompok orang dalam sebuah susunan nilai dan keyakinan yang jelas, untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan jelas dan dapat diukur.
2.      Beragam keterampilan yang dibutuhkan dalam perilaku kepemimpinan transformasional, yaitu:
-                      Keterampilan personal
-                      Komunikasi interpersonal
-                      Pembimbingan dan manajemen masalah
-                      Menggagas untuk pengembangan organisasi
-                      Luwes, dan sopan dalam menjelaskan sesuatu.
3.      Langkah-langkah dalam perilaku kepemimpinan transformasional, adalah:
-                      memperkirakan
-                      merencanakan
-                      mengelompokkan
-                      memotivasi
-                      mengevaluasi dan
-                      mengkaji ulang
4.      Peran dan fungsi kepemimpinan transformasional adalah:
-                      Sebagai komunikator, yakni mengkomunikasikan impian bersama, mengkomunikasikan dengan penuh perhatian, dan memahami orang lain dengan akurat.
-                      Sebagai konselor, yakni membantu orang lain mengatasi masalah, memotivasi orang lain untuk bertindak, membantu orang lain membuat tujuan yang dapat dicapai, dan membantu orang lain mengekspos dan mengevaluasi.
-                      Sebagai konsultan, yakni bertindak sebagai mediator masyarakat organisasi, melaksanakan proses konsultasi dengan serius, dan membentuk nilai dan budaya bersama.

TIP MENGKRITIK ATASAN DALAM PERSPEKTIF TRANSFORMASIONAL

            Salah satu upaya membentuk paradigma baru dalam sebuah pola kepemimpinan adalah dengan membangun hubungan kerja atasan-bawahan melalui komunikasi yang baik dan kritik yang efektif. Komunikasi menyangkut interaksi dua arah untuk saling mengisi kelemahan dan kelebihan masing-masing, sedangkan kritik harus diartikan sebagai harapan terjadinya perubahan menuju perbaikan. Kritik menjadi masukan yang positif, dan tidak ditafsirkan sebagai tantangan atau rongrongan terhadap kewibawaan. Jadi, bobot kebutuhan kritik sama saja dengan kebutuhan komunikasi. Dan itu tidak harus selalu datang dari atasan. Bawahan pun berhak mengkritik atasan. Yang terpenting, kritik akhirnya dapat berdampak memotivasi atasan untuk bekerja dan memberikan  pelayanan lebih baik.
            Tip mengkritik atasan agar efektif dan memberi dampak positif adalah sebagai berikut: pertama, pahami dan pelajari gaya kepemimpinan atasan anda, ia tipe kepemimpinan traksaksional atau transformasional, dengan mengenali sikap dan gayanya, anda akan lebih mudah masuk membuka komunikasi dan sekaligus menempatkan diri; kedua, datanglah sebagai bawahan yang peduli dan ingin membantu atasan. Tunjukkan perhatian anda dengan memberikan sikap simpatik terhadap apa yang dirasakan pimpinan, khususnya ambisinya mencetak sukses; ketiga, carilah waktu dan kondisi yang tepat ketika anda mengkritik. Jangan sekali-kali mengkritik atasan di depan karyawan lain. Juga, jangan mengkritik saat sang pimpinan dalam keadaan tertekan karena sedang menghadapi persoalan. Kritik semacam itu selain tidak efektif, malah bias menjadi bumerang, berbalik menjadi kemarahan yang tidak ada ujung-pangkalnya; keempat, hindari kritik tanpa argumentasi yang jelas. Kritik semacam ini hanya akan membuat anda terperosok ke dalam lubang yang anda buat sendiri. Kritik tanpa penjelasan sama saja dengan upaya memaksakan kehendak; kelima, setelah mengkritik, tunjukkan peluang keuntungan yang bias dipetik dari saran atau rekomendasi tersebut. Namun jangan sampai ada kesan menggurui; terakhir, tunjukkan kritik yang spesifik. Artinya, berikan catatan-catatan yang lugas, jelas, dan menuju sasaran. Kritik yang sifatnya umum dan samar-samar justru akan menambah bingung pimpinan. Ingat, bagaimanapun isi saran dan kritik anda akan mempengaruhi tingkat kredibilitas anda di mata pempinan.









KESIMPULAN

            Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dinamis dan selalu mengadakan pembaruan dalam organisasi yang dipimpinnya untuk mencapai tujuan bersama yang diharapkan. Pimpinan seperti ini akan selalu memotivasi karyawan/bawahannya untuk bekerja guna mencapai sasaran, karena ia sadar perannya sebagai pendorong, fasilitator dan katalisator. Dalam hal ini, orientasi pimpinan bukan memupuk kekuasaan, melainkan memuaskan pelanggan dalam arti seluas-luasnya. Pimpinan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi kelangsungan inisiatif dan kreatifitas bawahan, yang akan memicu berkembangnya profesionalisme.
            Kepemimpinan transformasional tidak menempatkan bawahan sebagai objek semata yang bias digiring kekiri-kekanan. Melainkan menempatkan bawahan untuk berperan aktif mengubah paradigma lama tentang interaksi bawahan-atasan. Paradigma lama manajemen otokratis, birokratis dan statis harus diganti dengan budaya melayani yang dinamis, inovatif dan responsive terhadap perubahan-perubahan yang berjalan semakin cepat.


REFERENSI

Garry A. Yulk. (1985). Kepemimpinan dalam organisasi. Jakarta: Prenhallindo
Usman, Husaini. (2004). Manajemen pendidikan. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Kartono. (1998). Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada
Eales-White, Rupert (2004). The effective leader (seri terjemahan). Yogyakarta: Diva Press
Dikutip dari internet. (2005). Kepemimpinan melayani.