A. PENDAHULUAN
Salah satu
ciri kehidupan hari ini adalah terjadinya ledakan ilmu pengetahuan dan
informasi yang luar biasa, namun bersamaan dengan itu, dirasakan adanya
dekadensi moral siswa dan kadang juga terjadi pada para pengambil kebijakan,
yang sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia yang bisa jadi
melebihi krisis pangan, energi, dan krisis-krisis yang lain. Dekadensi moral
tersebut dapat terbaca dengan terus tumbuh kembangnya kecenderungan manusia
untuk berbuat kekerasan, rusaknya tatanan sosial ditambah dengan rendahnya
moralitas manusia serta semakin terbukanya pergaulan bebas di kalangan para
pelajar dan mahasiswa. Dari data penelitian secara nasional mengatakan bahwa
10-30% remaja usia sekolah yang belum menikah telah melakukan hubungan seks
bebas (diambil 22 November 2005 dari http.//www.remaja.com).
Fenomena
dekadensi moral bukan hanya muncul di tengah orang-orang yang tidak
berpendidikan (uneducated people),
tetapi justeru terjadi juga di kalangan orang-orang yang terpelajar (educated people). Perilaku-perilaku
negatif para elit politik bahkan kaum terpelajar sering dipertontonkan dalam
berbagai berita-berita televisi seperti perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme
serta pameran kemewahan di tengah-tengah meningkatnya jumlah kemiskinan bahkan
yang lebih tragis lagi adalah perilaku negatif juga ditampilkan oleh para
pendidik sendiri, misalnya dengan mengabaikan amanah ilmiah serta mengabaikan
aspek-aspek moral dalam pergaulan, dan menonjolkan aspek transaksional dalam
dunia pendidikan (Yaljan, 2004: x).
Semua ini
menandai era adanya krisis pendidikan yang tidak dapat lagi menciptakan
peradaban baik bagi kehidupan umat manusia akan tetapi bahkan membawa kehidupan
manusia semakin terancam. Kalau diamati dengan seksama, persoalan yang menjadikan
dunia pendidikan sedemikan rupa menjadi sangat merosot adalah terabaikannya
faktor moral dalam dunia pendidikan. Konsentrasi pendidikan lebih banyak
bernuansa materi, moral pendidikan sangat jarang menjadi perhatian dalam jagad
pendidikan, jika ada perhatian kepadanya maka baru dalam tahap kognitif (moral thinking) yang tidak dapat
langsung menyentuh nurani pembelajar sehingga tidak heran kesenjangan antara
ilmu dan amal sangat besar dirasakan dan menjadi realitas dalam dunia akademis
(Darmiyati, 2003 : 8).
Masalah timbul
karena perilaku dan tata nilai bukan lagi berpedoman pada norma-norma agama
tetapi melalui pertimbangan praktis yang jauh dari sentuhan nilai-nilai agama.
Nilai-nilai agama hanya berperan aktif dalam domain-domain privat dan bahkan
dijauhkan sama sekali dari realitas sosial. Dalam teori perkembangan
kepribadian, seperti yang menjadi dasar pedagogik melihat perkembangan proses
individu bukan hanya berkenaan dengan kecerdasan intelektual (intellectual quotient/IQ) tetapi juga
kecerdasan emosi (emotional qoutient/EQ),
serta kecerdasan spiritual (spritual
qoutient/SQ), bahkan seluruh pribadi individu. Proses pendidikan bukan
hanya proses pengembangan intelek tetapi juga emosi, spiritual dan fisik
manusia secara keseluruhan (Tilaar, 2002 : 311).
Selama ini
sistem pendidikan nasional selalu mengukur kecerdasan siswa hanya dari segi
kecerdasan intelektual. Siswa cerdas atau tidak, hanya diukur dari IQ. Tak aneh
bila IQ lalu menjadi satu-satunya parameter kepintaran dan kecerdasan siswa di
hampir semua sekolah (Sukidi, 2005 : 3). Kenyataan yang dihadapi oleh guru saat
ini di sekolah terutama dalam proses belajar mengajar hanya mengejar target
untuk menyelesaikan materi pelajaran tanpa memperhatikan nilai-nilai moral yang
harus mereka sampaikan, sehingga tidak mengherankan apabila hasilnya kurang
maksimal. Banyak orang yang pandai dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) tetapi tidak sedikit dari mereka melakukan pelanggaran terhadap
nilai-nilai agama dan moral. Padahal menurut Daniel Golemen (1997) kecerdasan
intelektual hanya menyumbang 20 % dari kemampuan seseorang sedangkan
kesederdasan emosional menyumbang 80 % dari kemampuan seseonang (Darmiyati,
2003 : 2).
Persoalan
krisis ekonomi yang ditandai dengan krisis nilai tukar rupiah pada awal tahun
1997 telah meyebabkan perubahan mendasar (stuktural) dalam segala aktivitas
manusia. Di samping persoalan tersebut, semakin nyata pula bahwa
persoalan-persoalan ekonomi ini bukan semata-mata berasal dari faktor-faktor
ekonomi, melainkan juga sebagai produk dari sistem, mekanisme politik yang
tidak sehat dan persoalan moralitas penyelenggara negara. Persoalan krisis
tersebut salah satunya diakibatkan oleh lemahnya peran serta nilai-nilai
religius dalam praktek kehidupan ekonomi. Gejala semakin menurunnya kualitas
nilai dan akhlak bangsa Indonesia
perlu segera dicari pemecahanya. Salah satu jalan keluarnya adalah lewat jalur
pendidikan antara lain dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan yang dapat
membentuk manusia bermartabat dan memiliki integritas tinggi (Damiyati, 2003 :
10).
B. LANDASAN TEORI
Pengembangan nilai-nilai imtaq yang terintegral dengan ilmu
pengetahuan sosial memiliki makna penting bagi peningkatan kualitas pendidikan.
Secara operasional, pengembangan nilai dalam ilmu pengetahuan sosial selalu
melibatkan tiga tahapan yang berbeda. Tahapan pertama berkisar pada pengenalan fakta-fakta lingkungan, tahap kedua merupakan tahap pembentukan
konsep-konsep, dan, tahan ketiga
adalah tahapan pertimbangan tentang nilai yang terintegrasi. Atas dasar tahapan
ini, maka tidak cukup bagi peserta didik untuk belajar Ilmu Pengetahuan Sosial
dan humaniora dengan hanya berkisar pada konsep yang verbalisitik atau hanya
mengenal sejumlah fenomena, melainkan diperlukan ketajaman analisis terhadap
nilai dalam sejumlah isu sosial yang muncul dewasa ini (Mulyana, 2004: 190).
Nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran ilmu pengetahuan
sosial dan humaniora dapat berupa nilai instrinksik seperti objektifitas,
rasionalitas, dan kejujuran ilmiah, atau dapat pula berupa nilai dasar moral
seperti kepedulian terhadap orang lain, empati, dan kebaikan sosial lainya
(Mulyasa, 2004 : 29). Semua itu, menjadi penting dalam merancang prioritas
penelaahan ilmu pengetahuan sosial dalam kehidupan. Untuk itu, nilai-nilai dasar
moral yang muncul secara humanistik harus terintegrasi dalam keseluruhan
kurikulum ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, terutama ketika pada pendidik
berkepentingan untuk menjelaskan nilai-nilai instrinksik tersebut. Nilai dasar
moral esensial dapat dikembangkan dari prinsip-prinsip kebenaran, keadilan,
kebaikan, kepedulian dan keindahan yang terdapat dalam ajaran agama. Sedangkan
menurut Sumantri mengatakan bahwa pengembangan serta aktualisasi pendidikan
ilmu pengetahuan sosial harus mencover satu kesatuan unsur kognitif, afektif,
dan keterampilan (Sumantri, 2001: 182).
Selain itu, pemikiran yang melandasi pentingnya pendidikan
ilmu pengetahuan sosial dan humaniora bagi penyadaran nilai dan etika mencakup
hal sebagai berikut (Mulyana, 2004 : 191-192).
- IPS dan humaniora tidak hanya memiliki kelompok elite ilmuwan tetapi juga melibatkan masyarakat luas sebagai pendukung, bahkan pengguna. Oleh karena itu, IPS dan humaniora seharusya memberikan kontribusi penting bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat, terutama bagi mereka yang belajar mata pelajaran kelompok ilmu pengetahuan sosial tersebut.
- IPS dan humaniora memberikan sumbangan penting pengembangan kepribadian manusia. Oleh karenanya, pembentukan sikap dan nilai tidak hanya cukup dengan memperoleh pengetahuan yang bersifat konseptual. Pembelajaran pada dua disiplin ilmu ini harus diarahkan pada perolehan sikap ilmiah dan sikap kritis, serta kemampuan untuk membangun hubungan antar manusia, alam, Tuhan secara sehat dan harmonis
- Pembelajaran IPS dan humaniora harus mengetengahkan kebebasan mengungkapkan gagasan. Upaya ke arah itu dapat dikembangkan melalui sejumlah pendekatan yang konstruktif dalam rangka membimbing peserta didik agar bekerja secara aktif, kreatif, dan inovatif. Dengan demikian, pembelajaran mampu mengembangkan kecerdasan-kecerdasan emosional peserta didik dalam menjalin hubungan interpersonal, kepedulian terhadap orang lain, dan penghargaan terhadap segala bentuk kehidupan.
Melalui pembelajaran IPS dan humaniora yang terintegrasi
dengan nilai, etika dan moral, peserta didik diharapkan mampu mengaplikasikan
konsep dan prinsip ilmu-ilmu tersebut untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Internalisasi
nilai-nilai imtaq dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sebenarnya memiliki
landasan hukum yang kuat. Idiologi negara, undang-undang dan GBHN merupakan
batasan yuridis yang mengandung banyak pesan-pesan nilai. Karena itu,
Pendidikan nilai memiliki posisi yang cukup strategis dalam pendidikan
nasional.
Walaupun Indonesia
bukan negara agama, namun Indonesia
adalah bangsa yang beragama. Setiap pribadi bangsa memiliki keyakinan bahwa
nilai ketuhanan adalah nilai tertinggi. Perwujudan atas nilai yang dianut
dicerminkan dalam beragam bentuk ritualitas peribadatan yang dilakukan oleh
setiap komunitas beragama.
Adanya perbedaan yang dianut bangsa Indonesia menuntut kehati-hatian
dalam menafsirkan istilah iman dan taqwa.
Iman dan taqwa yang digunakan sebagai indikator keyakinan beragama dalam
Pancasila, UUD ’45, GBHN 1993, dan UUSPN 2003 menunjukan makna tunggal ika, sedangkan pemberian isi
yang berbeda pada kedua istilah itu berarti bhineka.
Dengan kata lain, secara literal terminologi iman dan taqwa berlaku
umum pada semua agama. Pada pemaknaan seperti ini, penulis hendak menempatkan
posisi iman dan taqwa sebagai landasan agama yang
dilihat dalam perspektif pandangan Islam (Mulyana, 2004: 153).
Sebagai cara hidup, Islam mengajarkan berbagai aspek
kehidupan kepada manusia agar hidup selamat di dunia dan di akhirat.
Pemeliharan dan pengembangan aspek-aspek kehidupan itu ditempuh melalui proses
pendidikan disekolah, keluarga dan masyarakat. Pembelajaran nilai agama
memiliki landasan landasan yang mendasar dalam Islam. Bahkan pendidikan nilai
dalam perspektif Islam mencakup semua dimensi ajaran Islam yang mengandung
pesan nilai kebaikan dan kebenaran yang diperlukan oleh manusia. Sementara itu,
Konferensi Islam Pertama di Mekkah (1977) tentang pendidikan merekomendasikan
bahwa pendidikan harus mencakup yaitu : “…..education
should aim at the balanced growth of the total personality of man through the
training of man’s spirit, intellect, the rational self, feelings and bodily
senses” (Musjtari, 2005: 1). Pendidikan bertujuan meningkatkan keseimbangan
pertumbuhan kepribadian secara total yaitu inteletual, perasaan, rasional
diri.
Selain itu, landasan religi yang menempatkan pentingnya
nilai-nilai imtaq dalam Islam dapat dilihat dari hakikat fitrah sebagai potensi
dasar yang positif. Fitrah adalah kekuatan inti pencerahan batin manusia.
Namun, karena pada diri manusia terdapat fakultas akal, nafsu dan hati yang
saling mengalahkan, maka potensi dasar ini bisa saja tidak berkembang. Maka
dengan demikian, dalam konteks ini kehadiran nilai-nilai imtaq menjadi sangat
penting dalam dinamikan pendidikan nasional yang semakin hari-semakin
meninggalkan nilai dan fitrah dasar kemanusiaan (Mulyasa, 2004 : 155).
Secara normatif filosofis perintah menuntut ilmu digambarkan
dalam pandangan Islam dengan jelas dinyatakan dalam Alquran. Iqra yang berarti “bacalah” merupakan
suatu kata yang memberikan isyarat bagi manusia akan pentingya pendidikan,
betapa mencari ilmu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap umat
Islam (Abdullah, 2004 : 123). Islam menjamin kebahagiaan dan kemuliaan bagi orang-orang
yang berilmu. Secara normatif Islam mengajarkan kepedulian pada pendidikan,
sebab dengan pendidikan seseorang bisa mengenal Tuhanya lebih baik.
Dalam
konsep aplikasi dan fungsional pendidikan nilai adalah pemberi warna hitam
putihnya perjalanan hidup seseorang. Pendidikan nilai merupakan pendidikan
generasi artinya bila pendidikan baik maka akan menciptakan generasi yang baik
namun sebaliknya bila pendidikan salah mendidik maka akan melahirkan mental
yang buruk dan tidak berprikemanusiaan. Pendidikan nilai adalah pendidikan
peradaban, artinya masa depan peradaban tergantung dari konstuksi bangunan
pendidikan yang diberikan pada masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, secara
filosofis ajaran Islam menetapkan pendidikan sebagai salah satu kegiatan manusia
yang wajib hukumnya bagi para pria dan wanita dan berlangsung seumur hidup atau
long life education (Malik, 1998:
57). Ajaran long life education dalam
dunia pendidikan sangat relevan dengan
prinsip-prinsip dasar pendidikan yang diajarkan Hadist yaitu di antaranya
adalah اْْطلب العلم ولوبالصين. Artinya “tuntutlah ilmu sampai pada liang lahat
“. Kedudukan Hadis tersebut secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan hajad sosial manusia (Hasbullah,
2005 : 64).
Linear dengan hal tersebut maka, Dewey berpendapat bahwa
pendidikan adalah merupakan sebagai salah satu kebutuhan hidup, salah satu
fungsi sosial, sebagai bimbingan hidup dan sebagai sarana pertumbuhan yang
mempersiapkan dan membuka serta membentuk disiplin hidup. Pendidikan mengandung
misi keseluruhan aspek kehidupan kebutuhan hidup serta perubahan-perubahan yang
terjadi. Dengan demikian maka, fungsi pendidikan tersebut dapat dicapai lewat
pendidikan formal maupun, informal maupun non-formal (Malik, 1998: 54).
Dalam pembelajaran nilai melalui disiplin ilmu pengetahuan
sosial khususnya dalam mata pelajaran ekonomi, terdapat sejumlah nilai yang
esensial yang dapat dikembangkan seperti yang dijelaskan dalam tabel berikut
ini :
Tabel 1
Nilai imtaq
secara Komprehensif
Nilai Imtaq Secara Komprehensif
|
Tujuan Kuriklum
|
Persamaan
|
Untuk menanamkan rasa
persamaan segala bentuk aktifitas
|
Keadilan
|
Untuk mengembangkan
nilai-nilai keadilan dalam kegiatan sosial (ekonomi dan bisnis)
|
Kejujuran
|
Untuk menanamkan rasa
kejujuran dan transparansi dalam segala sikap sosial (sosial attitude)
|
Amanah
|
Untuk mengembangkan rasa
percaya pada diri, komunitas sosial dan kepada Tuhan
|
Fathonah
|
Mengebangkan sikap
intelegensi, cerdas, kritis dan rasional-ilmiah
|
Tabligh
|
Mengembangkan keterampilan komunikasi, dialog, dan menyampaikan
tanggung jawab pada orang lain
|
Tanggung jawab
|
Untuk mengembangkan dan
mempunyai sikap bertanggung jawab pada diri dan komunitas sosial
|
Efisiensi
|
Guna meningkatkan
kemampuan dan sikap efisiensi terhadap produksi dan konsumsi barang dan
jasa
|
( Mulyasa , 2004 : 193).
c. Metode Penelitian
Fokus
penelitian ini adalah aktifitas guru serta tenaga kependidikan lainnya dalam
menanamkan nilai-nilai imtaq pada proses pembelajaran. Oleh karena itu, sesuai
dengan tujuan penelitian ini, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan
kualitatif naturalistik. Pendekatan ini memandang kenyataan sebagai suatu yang
berdimensi jamak, utuh atau merupakan kesatuan dan openended (Sudjana, 1983: 7). Penelitian ini pada hakikatnya ia
mengamati perilaku orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka,
berusaha memahami bahasa dan tafsir mereka tentang dunia sekitar (Nasution,
1988: 5). Melalui pendekatan kualitatif diharapkan dapat diperoleh pemahaman
dan penafsiran mengenai makna dari kenyataan atau fakta yang relevan yaitu
dengan melakukan wawanca mendalam, observasi dan
dokumentasi. Dari ketiga alat pengumpulan data tersebut diharapkan dapat
memperoleh data yang valid. Pendekatan ini digunakan karena masalah dan tujuan
penelitian yang hendak dicapai yaitu memperoleh pemahaman yang mendalam tentang
penanaman nilai-nilai imtaq dalam pembelajaran ekonomi. Dengan kata lain untuk
memahami respon dan cara atau starategi guru dan segala perilakunya yang
berkaitan dengan penanaman nilai-nilai imtaq dalam pembelajaran ekonomi. Dengan
demikian perlu pengamatan secara mendalam melalui kehadiran peneliti dalam
setting penelitian. Keterlibatan peneliti selama proses pembelajaran ekonomi
merupakan tuntutan agar dapat memahami terintegrasinya nilai-nilai imtaq dalam
pembelajaran ekonomi.
Selama
proses pembelajaran berlangsung. Hasil penelitian yang lebih mendalam dilakukan
dengan wawancara dan observasi situasi sosial siswa dan guru di sekolah, selain
pengamatan di dalam kelas, pencarian informasi lain dilakukan untuk keperluan
cek silang data (cross check) dengan
kepala sekolah, maupun guru-guru mata pelajaran yang lain. Di lapangan peneliti
melakukan pendekatan secara formal dengan subjek penelitian, di samping
peneliti melakukan observasi partisipan baik dalam kegiatan pembelajaran maupun
dengan sarana pendukung lainnya dengan menggunakan pedoman wawancara dan
berbagai persiapan yang telah dilakukan. Pedoman wawancara tersebut dibuat
semata-mata untuk kelancaran proses peneletian.
Dalam
penelitian ini akan dikumpulkan data deskripitif yang selanjutnya dituangkan
dalam bentuk uraian, berupa catatan lapangan (field notes) kecermatan dan kelengkapan catatan lapangan merupakan
keberhasilan dalam penelitian naturalistik. Dengan demikian, untuk mendapatkan
pemahaman yang mendalam tentang pananaman atau pengintegrasian nilai-nilai
imtaq dalam pembelajaran ekonomi, maka teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah observasi, partisipasi dan wawancara secara mendalam (depth interview) informan kunci serta
dilengkapi dengan teknik dokumentasi. Dalam penelitian ini teknik observasi,
wawancara dan dokumentasi dapat dijadikan sebagai alat pengumpulan data
penelitian.
Sementara
itu, keabsahan data dilakukan untuk memenuhi kriteria kesahihan (validitas) dan
keandalan (reabilitas) data yang dikumpulkan. Dalam analisis data perlu
memperhatikan derajat keabsahan atau kepercayaan data. Kriteria tersebut
berfungsi sebagai : pertama,
melaksanakan inquiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya
dapat dicapai dan dipertanggung jawabkan; kedua,
mempertunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian
oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti (Moleong, 2002: 173).
Objektivitas penelitian dinilai dari validitas dan realibilitas dibuktikan
dengan dimilikinya kredibilitas temuan beserta interpretasinya, yaitu
menggunakan pendekatan emik hal ini dicapai dengan jalan mengusahakan agar
temuan dan interpretasinya sesuai dengan hal yang sebenarnya dan mengusahakan
agar temuan peneletian disetujui subjek peneletian. Kedalaman hasil penelitian bisa ditempuh
dengan teknik trianggulasi data dan kedalam observasi.
Trianggulasi
adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di
luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai data pembanding terhadap data
yang ada. Teknik trianggulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan
melalui sumber lain (Moleong, 2002: 178). Trianggulasi suber data yakni
mengumpulkan informasi yang diperoleh dari informan kunci untuk keperluan
pengecekan data kembali. Dalam hal ini peneliti melihat sejauh mana kompetensi
guru sebagai pelaksana operasional lapangan dalam proses balajar mengajar.
:A. Kesimpulan dan Hasil Penelitian
Berdasarkan pemaparan hasil
penelitian tersebut di atas maka dapat disimpulkan beberapa point-point penting
yaitu :
1.
Guru belum memahami secara holistik atau komprehensive
tentang nilai-nilai imtaq, mengingat cakupan kajian nilai-nilai imtaq yang
sangat luas dan juga disebabkan oleh berbagai kendala yang dihadapi guru
seperti minimnya buku-buku imtaq, workshop
atau pelatihan yang berkenaan dengan program penanaman nilai imtaq.
2.
Pada pra-pembelajaran guru melakukan review kembali berbagai materi pelajaran
yang dianggap belum dikuasai sepenuhnya oleh para siswa termasuk masalah nilai
imtaq.
3.
Integrasi nilai imtaq dalam pembelajaran ekonomi tidak
dilakukan secara terencana dan sistimatis. Integrasi tidak dilakukan dengan
metode by design atau dengan kata
lain belum dirumuskan secara spesifik dan konkrit dalam pedoman mengajar atau
pada satuan pelajaran. Sementara itu konsep integrasi telah menjadi bagian
dalam proses belajar mengajar ekonomi.
4.
Proses penanaman dan pengintegrasian nilai imtaq
dilakukan tidak secara terprogram dan tetapi dilakukan dengan cara spontan
dalam proses kegiatan belajar mengajar. Sejumlah nilai yang tersebut di atas
tidak dicantumkan dalam satuan pelajaran, namun diimplementasikan ketika sedang
berlangsung kegiatan belajar mengajar. Sementara faktor pengintegrasian materi-materi
imtaq tidak sepenuhnya dilakukan tetapi hanya sebatas yang dipahami dan
dimengerti oleh guru yang bersangkutan. Walau demikian penanaman dan
pengintegrasian nilai-nilai imtaq belum sepenuhnya diimplemtasikan baik dalam
pencantuman silabi maupun dalam kegiatan belajar mengajar
5.
Dalam meningkatkan kompetensi pengetahuan yang
seimbang antara IPTEK dan IMTAQ sekolah telah memprogramkan berbagai kegiatan
diantaranya adalah kajian berbagai persoalan agama pada sore hari misalnya yang
berkaitan dengan masalah hukum agama yang berkaitan dengan ekonomi dan bagi
para siswi sekolah telah mewajibkan untuk mengenakan jilbab, sementara pada
hari Jumat siswa diwajibkan membawa Al-Quran untuk Yasinan bersama pada jam
pertamam yang dipimpin oleh guru bidang studi masing-masing, majlis taklim,
ramadhon berjamaah, infaq dan karya ilmiah tentang esai-esai kegamaan.
6.
Untuk menyiasati dan menyelesaikan berbagai kendala
dalam kegiatan belajar mengajar guru berusaha mempelajari dan menggali berbagai
sumber seperti berdiskusi dengan guru lain dalam forum MGMP, majalah, koran,
buku agama, mengikuti pengajian, mendengarkan berita dari berbagai media
elektronik dan cetak. Sementara itu, beberapa kegiatan dan penataran nilai
imtaq diikuti yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan propinsi guna memahami
dan mengetahui bagaimana pengintegrasian dan penanaman nilai imtaq dalam
pelajaran ekonomi. Di samping itu pula, ketrampilan dalam memilih dan
menggabungkan metode yang tepat seperti diskusi, tanya jawab, pemberian tugas
dan belajar kelompok guna memecahkan masalah secara mandiri****
DAFTAR
PUSTAKA
Adiwarman Karim. (2002). Ekonomi mikro Islami. Jakarta : IIT Indonesia.
Amin
Abdullah. (2004). Integrasi sains Islam.
Yogyakarta : Suka Press.
Anto Hendri.
(2003). Pengantar ekonomi makro islami.
Yogyakarta : Ekonesia.
Abdurrahman
Mas’ud (2003). Menggagas format
pendidikan nondikotomik. Yogyakarta : Gama
Mmedia.
Dawam Rahardjo
(1990). Etika ekonomi dan manajemen.
Yogayakatya : Tiara Wacana.
Faradi, F. R.
(1993). Aspect of islamic economics and the economy Indian Muslim. New Delhi. Nizamuddin
West.
Fraenkel , J.
R. (1977). How to teach about values : An
analytic approach. New Jersey
: Engleewood Cliff.
Heri
Sudarsono. (2003). Konsep ekonomi Islam.
Yogyakarta: Ekonesia.
Hasan Langgulung.
(2000). Asas-asas pendidikan Islam. Jakarta : Alhusna Zikra.
Malik Fadjar.
(1999). Reorentasi pendidikan islam. Jakarta: Fajar Dunia.
Marthon, S.
S. (2004). Ekonomi Islam di tengah krisis
ekonomi global. Jakarta
: Zikrul Hakim.
Sukidi
(2005) Spiritualisasi pendidikan, menuju
pendidikan budi pekerti. (Di ambil pada tanggal 19 Mei2005 dari Http://nurani-kmt.tripot.com/artikel.htm).
Umar Capra.
(2001). Masa depan ilmu ekonomi. Gema
Insani.
Yusuf
Qardawi. (1997). Peran nilai dan moral
dalam ekonomi Islam, Jakarta
: Robani Press.
Wan Mohd,
N.W.D. (1998). Filsafat dan praktek
pendidikan Islam Syed M Naqub Al-Attas. Bandung : Mizan Media.
0 komentar:
Posting Komentar