Minggu, 16 Maret 2014

SEKOLAH INOVATIF MASA DEPAN


BAB I
PENDAHULUAN


1.1.  Latar Belakang

            Pendidikan di era global memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam menyiapkan SDM yang berkualitas dan kompeten di bidangnya untuk mewujudkan masyarakat yang maju, kompetitif dan siap menghadapi serta menjawab tantangan global. Sebagai sarana mewujudkan cita-cita tersebut, maka diperlukan suatu sistem pendidikan yang sistematis, terencana dan terarah yang mampu memberdayakan seluruh fungsi manajemen pendidikan, meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Hal ini ditempuh dalam rangka terselenggaranya layanan pendidikan yang berorientasi pada mutu (quality assurance), sehingga dihasilkan output dan outcome yang sesuai dan relevan dengan standar yang dibutuhkan.

            Sebagaimana diketahui, era informasi global sangat berdampak secara positif dan negatif pada kehidupan masyarakat, terutama sektor pendidikan. Hal ini ditandai dengan penggandaan kecepatan perkembangan IPTEK, yang pada kurun tahun 1800 – 1900 hanya 100 tahun sekali, lalu setiap 20 tahun pada kurun 1940-an, kemudian setiap 7 tahun pada kurun 1970-an, dan setiap 2 tahun pada kurun 2000-an. Diperkirakan kecepatan ini akan menjadi dua kali lipat setiap 35 hari pada kurun waktu 2015 yang akan datang. (Rachmat Wahab, 2007).
            Dalam tulisan Sawali Tuhusetya (2007), dikemukakan bahwa reformasi dunia persekolahan (pendidikan) di Indonesia berjalan lambat, kalau tidak mau dibilang “jalan di tempat”. Ada beberapa faktor penyebabnya, di antaranya kemampuan kepemimpinan dari kepala sekolah, kepedulian stakeholder, dan kinerja pengawas (supervisor) yang kurang baik. 
            Salah satu bukti kurang mulusnya reformasi pendidikan, khususnya di Jawa Barat, adalah hasil Uji Kompetensi Guru (kemampuan akademik dan keguruan) dan Siswa dalam 14 mata pelajaran di 3 kabupaten (Cianjur, Kuningan dan Karawang), ke duanya hanya di bawah 60%.  Kemudian pengklasifikasian efektivitas sekolah (SMP) dari 120 SMP yang ada di 6 kabupaten (Ciamis, Tasikmalaya, Indramayu, Garut, Cianjur dan Sukabumi), yang menunjukkan bahwa SMP yang masuk kategori efektif hanya 11%, sedangkan SMP yang cukup efektif  57%, kurang efektif 21%, dan SMP yang tidak efektif sebesar 11%. Berdasarkan data ini, didapatkan bahwa efektivitas sekolah dipengaruhi oleh dukungan dimensi organisasi, keuangan dan ketenagaan. Dengan kata lain, peningkatan kualitas proses pendidikan di sekolah secara keseluruhan akan berhasil bila memiliki manajemen organisasi sekolah yang baik dan teratur, dukungan dana yang memadai, serta ketenagaan yang produktif. (Totoh Santosa, Sumber : Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat, 2005)
            Seiring dengan implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Persekolahan) atau dikenal dengan KTSP, dan implementasi Manajemen Berbasis Mutu atau Total Quality Management (TQM) di setiap jenjang persekolahan, maka sudah saatnya reformasi pendidikan jangan hanya jadi wacana, tapi harus dibarengi dengan perubahan paradigma pendidikan.
            Perubahan ini harus dimulai dari orientasi pola kepemimpinan kepala sekolah, peningkatan kinerja dan pemberdayaan segenap komponen sekolah (pendidik, tenaga kependidikan, fasilitas) dan fungsi manajemen organisasi sekolah, serta dukungan partisipatif (dana dan proses pendidikan) dari stakeholder.

            Dari perubahan pola (paradigma) ini diharapkan lahir konsep sekolah inovatif dan efektif berperspektif global yang memiliki visi masa depan, dengan esensi yang terkandung di dalamnya berupa pemberdayaan fungsi sekolah sebagai tempat belajar yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pengalaman pembelajaran yang bermutu bagi peserta didiknya. Sebagaimana dikutip oleh Burhanudin Toha dan Furqon (2003) dari Barrow R (1986), esensi inilah yang merupakan tugas pokok atau misi sekolah sebagai dasar bagi peserta didiknya dan analisis kinerja sekolah efektif.

1.2.  Tujuan

            Pembelajaran pendidikan yang berperspektif global merupakan satu cita-cita model pembelajaran profesional masa depan. Perspektif global ini hanya bisa dicapai oleh sekolah inovatif dan visioner yang tetap mengacu pada dasar ideologi pendidikan, yaitu pembebasan dari kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, penindasan, penyakitan, keterpurukan dan ketidakadilan. Semua ini merupakan ungkapan kasih dari lembaga pendidikan dan pendidik (guru) terhadap manusia “berusia muda” dalam pembentukan fundamen pribadi dan sosialnya.
            Sekolah inovatif tidak harus menjadi monopoli dari sekolah formal yang ada, namun sekolah nonformal dan informal pun memiliki peluang yang sama, yang penting memiliki karakteristik pembelajaran masa depan (school of future/tomorrow), berpedoman pada prinsip empat pilar pembelajaran (learning to be, to know, to do, to live together) dan pendidikan sepanjang hayat (life-long education) serta pendidikan untuk semua (education for all). Selain itu, relevan dan kompetitif dengan kebutuhan atau tuntutan global.
            Sesuai alur pikir kebijakan pendidikan nasional, sekolah inovatif atau apa pun namanya, tetap harus bertujuan untuk menciptakan insan cerdas dan kompetitif, dengan ditandai oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, produktif dan kompetitif partisipatif. (Enceng Mulyana, 2007)

1.3.  Pengertian

            Menurut dua mantan Mendikbud, Fuad Hasan (2007) sebagaimana dikutip oleh Aswandi (2007), pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya pemberdayaan kemampuan manusia ke arah yang lebih baik. Karena itu, proses pendidikan tidak harus ditafsirkan secara sempit hanya bisa terjadi di lingkungan persekolahan (formal). Aswandi juga mengutip Daoed Yoesoef (2007), bahwa pendidikan bisa terjadi di lingkungan pendidikan yang bukan “persekolahan” atau di lembaga alternatif pengganti sekolah, bahkan di rumah sebagai home schooling. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar bila mensikapi kondisi dan kualitas pendidikan persekolahan formal yang ada sekarang, yang serba tidak pasti, sebagai bukti satu kegagalan misi pendidikan nasional.
            Meskipun pada kesempatan tersebut, Daoed Yoesoef juga mengingatkan bahwa home schooling atau gerakan sekolah tanpa sekolah (deschooling) jangan dilegalisasi, sebab mengutip pendapat Postman (1987), seburuk-buruk pembelajaran di sekolah, tetap merupakan sarana/tempat belajar bersosialisasi yang mampu menginternalisasi dan mensosialisasikan nilai-nilai (sistem nilai), serta budaya.  
            Dengan demikian, menurut Daoed Yoesoef, proses pembelajaran (pendidikan) di lembaga sekolah mana pun harus tetap berorientasi pada pembentukan manusia beradab dan bermasyarakat (citizenship), serta manusia pemikir (respublica). Kemampuan suatu lembaga sekolah untuk mendidik peserta didik menjadi manusia-manusia seperti ini merupakan salah satu indikator efektivitas kinerja sekolah tersebut. Lembaga sekolah yang efektif (effective school) yang secara terus-menerus menghasilkan peningkatan kualitas dan pembaruan kemampuan dari para lulusannya, merupakan salah satu indikator sekolah yang inovatif (innovative school).
            Jadi suatu sekolah inovatif pasti efektif. Sekolah dengan tipe ini biasanya identik dengan nama lain, seperti sekolah baik (good school), atau sekolah terperbaiki (improved school), atau sekolah sukses (succesful school), atau sekolah unggul (excellent school), bahkan sekolah mahal/mewah (exclusive school) atau sekolah bernilai tambah/favorit (favorite school).
            Namun apa pun julukannya, menurut Coleman dan Jenck, seperti dikutip Aswadin, sekolah efektif lebih tepat diambil, karena lebih mengacu pada efektivitas manajemen sekolah yang mampu menampilkan kinerja unit organisasi sekolah secara efektif melalui output/outcome sekolah, bukan semata-mata pada kualitas input dan kelengkapan sarana/prasarana.


BAB II
KAJIAN TEORITIS

2.1. Konsep Sekolah Inovatif
            Konsep sekolah inovatif muncul sebagai ungkapan sikap atas isu-isu pendidikan di Abad 21, era globalisasi teknologi informasi dan desentralisasi, serta otonomi daerah. Sekolah inovatif yang efektif atau sekolah efektif yang inovatif (effective-innnovative school) merupakan gambaran sekolah masa depan (the schools of future/tomorrow).
            Menurut Levine (1994), dalam Burhanudin Toha dan Furqon (2003), sekolah efektif merupakan sekolah yang menunjukkan tingkat kinerja penyelenggaraan PBM yang diharapkan. Hal ini ditandai dengan hasil belajar dari peserta didik yang bermutu dan memuaskan sesuai tugas pokoknya, sebagai produk akumulatif dari seluruh layanan yang dilakukan oleh sekolah dan pengaruh dari suasana/iklim kondusif yang diciptakan di sekolah.
            Bila sekolah tersebut berhasil memenuhi kewajibannya memuaskan peserta didik dan masyarakat (stakeholder), berarti sekolah tersebut memiliki perencanaan yang menitikberatkan pada perluasan fungsi dan wawasan kelembagaan untuk memecahkan permasalahan besar dalam kehidupan masyarakat sebagai pelanggan. Perencanaan ini ditandai dengan upaya mengembangkan gagasan dan kegiatan baru dalam memecahkan masalah besar masyarakat, seperti meningkatnya pengangguran, meluasnya kemiskinan, rendahnya rasio lama sekolah, maraknya kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkoba, tingginya angka pertumbuhan penduduk, menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kegagalan sistem pendidikan.
            Inilah yang disebut perencanaan inovatif, yang biasanya juga diikuti dengan pembentukan lembaga baru, perubahan orientasi pada tindakan/kegiatan, dan penggerakan sumber-sumber daya yang diperlukan.(Sudjana, 2004 : 84).
            Sekolah efektif dipastikan memiliki perencanaan inovatif, sehingga bisa dikatakan sebagai sekolah inovatif. Jadi sekolah inovatif adalah sekolah efektif yang memiliki perencanaan inovatif berperspektif global, progresif dan profesional. Karena itu, sekolah efektif yang inovatif akan mampu mewujudkan apa yang disebut sebagai “self-renewing schools” atau “adaptive schools”, seperti diungkapkan oleh Garmston dan Wellman (1995) dalam Burhanudin Toha dan Furqon.
            Menurut O’Nell (1995) dalam Burhanudin Toha dan Furqon, model sekolah ini disebut sebagai “learning organization”, yaitu suatu kondisi yang menganggap lembaga sekolah sebagai satu entitas yang mampu menangani permasalahan yang dihadapinya melalui unjuk kapabilitas dalam berinovasi. Inilah yang merupakan model sekolah berperspektif Teori Organisme(Organik), yang menganggap dunia ini bukan benda mati, tapi berupa suatu energi yang memiliki kapasitas untuk berubah menyesuaikan diri dengan lingkungannya (adaptasi).
            Berdasarkan perspektif ini, bentuk kehidupan apa pun hanya akan mampu bertahan (survive) apabila organisme (sekolah) itu mampu memberikan respons yang tepat untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan di sekitarnya. Dengan kata lain, menurut Garmston dan Wellman, sekolah merupakan “The Adaptive Organism” yang harus secara terus-menerus mempertanyakan dua hal esensial, yaitu :
  1. Apa yang menjadi hakikat keberadaan sekolah ? dan
  2. Apa yang menjadi tujuan utama sekolah ?
            Pendapat senada dikemukakan oleh Getzel (1969) dalam Wayan Koster (2001), bahwa model sekolah berperspektif ini selalu berorientasi kuat pada hubungan antara apa yang telah dirumuskan dengan apa yang telah dicapai/dikerjakan. Wayan Koster juga mengemukakan konsep sekolah inovatif-efektif yang dikutip dari Bosker dan Guldemon (1991), yang terdiri dari lima komponen, yaitu context, input, proccess, output dan outcome. Dari ke lima komponen tersebut, komponen input terdiri dari tiga aspek, yaitu karakteristik sekolah, karakteristik guru dan karakteristik siswa. Komponen inilah yang secara fisik (tangible) mudah teramati.
            Berdasarkan penelitian Wayan Koster, sekolah inovatif-efektif memiliki karakteristik-karakteristik dari komponen input-nya yang terbagi menjadi beberapa indikator dengan deskripsi skor (angka) nominal sebagai berikut :

Aspek/Indikator
Skor (Angka) Nominal (minimal)
1. Karakteristik Sekolah

1.1. Luas Gedung
3.564 m2
1.2. Luas Laboratorium
115,6 m2
1.3. Luas Perpustakaan
112,3 m2
1.4. Banyaknya Kelas
23
1.5. Banyaknya Siswa
1.235
1.6. Banyaknya Dana
Rp 985.000.000,00
1.7. Rasio Siswa dengan Kelas
54,0
1.8. Rasio Dana dengan Siswa
797,571


Aspek/Indikator
Skor (Angka) Nominal (minimal)
2. Karakteristik Guru

2.1. Umur Guru
48 tahun
2.2. Rasio Jumlah Guru Ber-pendidikan terakhir (S1) 
16,4
2.3. Pengalaman Mengajar Rata-rata semua guru
18,3 tahun
2.4. Penghasilan (gaji) guru per tahun
Rp 7.574.435,00


Aspek/Indikator
Skor (Angka) Nominal (minimal)
3. Karakteristik siswa

3.1. Jumlah jam belajar di rumah/minggu
17,5
3.2. Jumlah jam les per minggu
9,5
3.3. Pendidikan terakhir (S1) ortu siswa
16,1
3.4. Penghasilan ortu per bulan
Rp 2.750.345,00

3.5. Prestasi Siswa
Skor
Kategori
3.5.1. NEM (skor Baku)
6,8
Tinggi
3.5.2. Konsep Diri (skala Likert)
150
Positif
3.5.3. Kepuasan Kerja Guru (skala Likert)
110,36
Puas
3.5.4. Partisipasi Ortu siswa (skala Likert)
90,75
Tinggi
3.5.5. Iklim Sekolah (skala Likert)
120,42
Baik

            Burhanudin Toha dan Furqon menambahkan data karakteristik model sekolah inovatif, yaitu efektivitas setiap layanan terhadap siswa dan stakeholder sebagai berikut :
No.
Jenis Layanan
Skor Ideal
Persentase Efektivitas
1
Pembelajaran
62,67
72,33%
2
Manajamen dan Iklim Sekolah
62,67
75,04%
3
Bimbingan dan Konseling
57,00
74,82%
4
Kesiswaan dan Ekstrakurikuler
57,33
63,34%
5
Kemitraan dengan Masyarakat
39,00
79,82%
            Beberapa pendapat lain tentang model sekolah yang berperspektif efektif-inovatif telah banyak dikemukakan oleh beberapa pakar, semuanya berorientasi hampir sama, yaitu kepada investasi dalam pengembangan kemampuan/keterampilan intelektual dan sumber daya manusia sebagai bekal untuk mempertahankan kehidupan ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan itu, Townsend dalam Aswandi (2007) mengemukakan bahwa performansi akademik (prestasi belajar) bukan satu-satunya indikator penentuan sekolah inovatif-efektif, sebagaimana dikemukakan oleh Scheerens  (2003 : 6), namun ditentukan pula oleh sejumlah tujuan sekolah yang bersifat non akademik.
            Perwujudan sekolah inovatif tidak hanya ditandai adanya gedung yang megah dan lengkap sarana-prasarananya, tapi tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan PBM yang efektif, kepemimpinan yang kuat dan terpercaya, serta dukungan partisipatif dari orang tua (stakeholder) yang dapat menumbuhkembangkan potensi siswa secara maksimal.
            Setiap negara memiliki perbedaan dalam mengimplementasikan dan menentukan besaran angka indikator (prediktor) efektivitas ini, karena jelas memiliki iklim/budaya yang berbeda.  
2.2. Tujuan Inovasi dalam Pembelajaran
           Pada hakikatnya, pendidikan adalah satu upaya yang dilakukan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia. Strategi pendidikan dalam upaya ini akan mempengaruhi landasan dan analisis kebijakan dalam pendidikan itu sendiri dengan memperhitungkan/mempertimbangkan segala aspek, baik ekonomi, politik, sosial-budaya dan teknologi. Dari strategi ini akan dihasilkan program-program (konsep-konsep) pendidikan yang terkoordinasi dengan sektor lain (layanan kesehatan) yang berorientasi progresif melalui jalur formal/nonformal/informal dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaitu menciptakan insan cerdas, berkualitas, produktif, kompetitif, dan partisipatif. Hubungan ini digambarkan melalui flowchart berikut :
  

 










 Dikutip oleh Suherli (2007), menurut Everett M. Rogers (1983), inovasi merupakan suatu gagasan, teknik atau benda yang disadari dan diterima oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi. Sedangkan menurut Stephen P. Robbins (1994), suatu inovasi dapat diterapkan untuk memprakarsai suatu produk atau proses atau jasa dan memperbaiki nilainya. Dari dua definisi ini, suatu inovasi memiliki karakteristik proses sebagai berikut :
 



            Pembelajaran (instruction) merupakan upaya/kegiatan terencana untuk mengkondisikan seseorang atau sekelompok orang terangsang untuk belajar atau membelajarkan seseorang atau sekelompok orang melalui berbagai upaya dan strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang direncanakan.

            Dengan demikian, inovasi pembelajaran dipersepsikan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan yang merupakan kesadaran pelaku pendidikan sebagai sifat alami manusia yang selalu ingin berkembang ke arah yang lebih baik (mendapat layanan pendidikan yang lebih bermutu). Suatu inovasi pembelajaran selalu mengarah pada posisi mencari solusi permasalahan pendidikan, dan harus tetap berpihak pada siswa dalam mencapai hasil belajar optimal.
            Sekolah inovatif harus bercirikan suatu model/konsep sekolah yang berbeda (new condition) dari sebelumnya atau dari sekolah lain, membawa angin perubahan/pembaharuan ke arah yang lebih baik dalam penyelenggaraan pendidikan, dan memberikan nilai tambah terhadap berbagai aspek kehidupan.
            Suatu sekolah inovatif akan tetap dipengaruhi oleh sistem internal organisasi sekolah yang bersangkutan. Untuk mencapai efektivitas kinerjanya, sekolah inovatif harus memenuhi syarat yang baik dan stabil dalam hal kejelasan tujuan lembaga sekolah, kejelasan pendelegasian tugas dengan deskripsi tertentu, kejelasan struktur wewenang, kejelasan peraturan dasar dan umum, serta kejelasan pola hubungan informasi yang teruji.(Suherli, 2007)
            Setelah didapat kriteria-kriteria ini, barulah suatu inovasi pembelajaran dapat didifusikan kepada pihak lain (guru, sekolah, siswa, stakeholder, mitra kerja dll), yaitu mempublikasikan penemuan inovasi beserta kelebihan dan kekurangannya, memberi kesempatan mengkritisi/menguji penemuan inovasi tersebut, memperbaiki penemuan inovasi tersebut bila terdapat kelemahan, mempatenkan penemuan inovasi tersebut bila sudah diakui memiliki banyak nilai kegunaan (nilai tambah) terhadap dunia pendidikan dan masyarakat umum, serta memberi kesepatan untuk mengaplikasikan penemuan inovasi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan keterbatasan yang dimilikinya.





BAB III
APLIKASI DAN PERMASALAHAN SEKOLAH INOVATIF

3.1. Konsep Aplikasi Sekolah Masa Depan
            Kemajuan IPTEK berpengaruh terhadap pola pikir maupun pola hidup manusia, baik positif atau negatif. Upaya untuk mengantisipasi pengaruh perkembangan IPTEK di era globalisasi memerlukan kontrol sosial yang melekat pada diri seseorang.  Hal ini tidak lepas dari peran serta dunia pendidikan, yang mana siswa sebagai target pembelajaran harus mampu merespons segala bentuk perkembangan IPTEK untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari atau untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya.
            Dengan kata lain, menurut Siti Nurkoti’ah Kamari (1997), siswa harus melek sains (science literacy), sebagai kemampuan mengenal hasil teknologi beserta dampaknya, kemampuan menggunakan produk teknologi dan memeliharanya, kemampuan menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep sains, kemampuan membuat hasil rekayasa teknologi yang disederhanakan, serta kemampuan menganalisis fenomena kejadian berdasarkan konsep sains yang didapat dalam pembelajarannya.
            Prayekti (2001) menyatakan, bahwa penguasaan IPTEK merupakan kunci penting dalam Abad 21, sehingga peserta didik harus dipersiapkan untuk untuk memiliki sikap, mengenal, memahami, dan menguasai IPTEK dalam rangka peningkatan kualitas hidupnya. Sekolah inovatif berupaya mengembangkan sikap yang terbentuk pada siswa dalam memahami suatu fakta, kemudian menginterpretasikannya ke dalam konteks kehidupan pribadi dan lingkungannya.
            Sikap inilah menurut Suharsimi Arikunto (1995) yang merupakan bagian dari tingkah laku manusia sebagai gejala atau gambaran kepribadian yang memancar keluar dari hasil pembelajaran efektif. Dari sikap ini, menurut Wynne Harlem (1987) diharapkan menghasilkan 9 sikap ilmiah yang dapat dikembangkan peserta didik, yaitu : ingin tahu (curiousity), ingin mendapat yang baru (originality), ingin kerja sama (cooperative), tidak putus asa (perseverance), tidak berprasangka (open-mindedness), mawas diri (self-criticism), bertanggung jawab (responsibility), berpikir bebas (independence in thinking), dan disiplin (self-discipline). (Prayekti, 2001)
            Sekolah inovatif yang efektif pelan tapi pasti akan makin dibutuhkan oleh masyarakat. Aplikasi IPTEK terutama teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan semakin dibutuhkan sebagai media pembelajaran. Sekolah inovatif tidak hanya ditandai oleh fasilitas serba elektronik (e-) dan komputerisasi dalam setiap aktivitas kelembagaan dan fasilitasnya, tapi juga dibarengi aplikasi TIK oleh para peserta didik, guru, dan staf lain, bahkan oleh masyarakat  sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari.
            Fasilitas dan kegiatan yang berbasis elektronik (e-information) dan internet/intranet akan menjadi trade mark sekolah inovatif, seperti aplikasi billingual atau dua bahasa pengantar dalam PBM (Inggris-Indonesia), e-learning (PBM) atau teleconference (PBM jarak jauh), e-mail (Komunikasi), e-commerce (Transaksi Perdagangan), e-payment (Pembayaran SPP), e-administration atau e-document (Staf TU), e-book atau cyber/hypertext (Buku Pelajaran), Cyber Library (Perpustakaan Maya), e-community (Komunitas Maya), sampai kepada e-examination atau on line test (UTS/UAS).
            Tidak hanya itu, sekolah inovatif masa depan akan bercirikan unjuk kerja artifisial dari para pengelola pendidikan, terutama guru. Profesi guru di Abad 21 tidak cukup hanya membelajarkan siswa satu kelas atau beberapa kelas di satu sekolah, tapi sejumlah kelas dari berbagai sekolah dalam satu waktu sekaligus. Bahkan guru mampu membelajarkan jutaan siswa di ”kelas dunia” secara individual pada waktu yang sama. Untuk itu, tentunya diperlukan penguasaan teknologi dan kemampuan bahasa asing (Inggris) yang optimal dari guru sebagai antisipasi jawaban terhadap kemungkinan tersebut. (Purwanto : 2007).
            Implikasinya, menurut Isjoni (2004), guru masa depan pada sekolah inovatif harus memiliki kemampuan ekstra sebagai :
  1. Planner, yaitu memiliki program kerja yang jelas tidak hanya yang bersifat rutin, tapi bagaimana menyusun program kerja yang bisa menghasilkan PBM maksimal.
  2. Inovator, yaitu memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan dalam pola PBM, sehingga menghasilkan PBM yang efektif.
  3. Motivator, yaitu memiliki keinginan untuk terus belajar pada diri sendiri dan juga pada anak didik.
  4. Personal Capability, yaitu memiliki pengetahuan kecakapan/keterampilan/sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola PBM secara efektif.
  5. Developer, yaitu memiliki keinginan mengembangkan diri dan menularkan kemampuannya kepada semua orang termasuk anak didik, peka terhadap perkembangan IPTEK, serta mampu memberdayakan multimedia (komputer, internet, dan media lain) dalam PBM.
            Selain itu, masih ada beberapa indikator guru masa depan yang merupakan kriteria terwujudnya sekolah inovatif, yaitu guru harus mampu berperan sebagai fasilitator, pelindung, pembimbing, figur yang baik, loyal, disiplin, tanggung jawab, kreatif, humanis, memiliki etika moral, peduli, rendah hati, kritis, emosi terkendali (IQ,EQ, SQ), manajemen waktu, performance intelektual dan fisik yang baik, serta tentu saja punya ciri khas “The Habits for Highly Effective People” dan “Quantum Teaching” dalam segala aktivitasnya, baik di sekolah atau di lingkungannya.
3.2. Paradigma Pendidikan Masa Depan
            Ada tiga kunci dalam paradigma pendidikan masa depan, yaitu sains, teknologi dan masyarakat. Karena itu dibutuhkan pendekatan sains, teknologi dan masyarakat (STM) dan interaksi ke tiganya dalam kaitannya mencapai tujuan pendidikan secara umum. Sains merupakan proses/metode penyelidikan (inquiry methods) yang meliputi cara berpikir, sikap dan langkah kegiatan orang (ilmuwan) untuk memperoleh produk-produk sains atau ilmu pengetahuan ilmiah. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan sikap/tindakan, keingintahuan, kebiasaan berpikir, dan seperangkat prosedur yang memiliki nilai tanggung jawab moral, sosial, kejujuran, ketelitian, ketekunan, kehati-hatian, toleran, hemat dan pengambilan keputusan.
            Teknologi adalah suatu keahlian/keterampilan khusus (knowing how) secara fisik berdasarkan pengetahuan, pemikiran kreatif, perancangan, pengembangan, dan membuahkan hasil/nilai yang bemanfaat untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi manusia. Sedangkan masyarakat, menurut Aikenhead (1991), disebut sebagai society is the social milieu. Artinya, lingkungan pergaulan, teknologi,pranata sosial, aspek sosial budaya, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.(La Maronta Galib, 2007)
            Hurd dan Whitefield (1974) dalam La Maronta, hubungan (interaksi) simbiosis ke
tiganya digambarkan sebagai berikut :
  

  Hubungan ini oleh Dimyati (1988) dalam La Maronta dikatakan, bahwa teknologi dan sains tidak pernah terpisahkan. Sains dan teknologi berperan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, baik dalam bentuk tanggung jawab sosial, membentuk opini dan masalah sosial, pengambilan keputusan dan tindakan sosial, penyelesaian masalah praktis dan sosial, perkembangan ekonomi, politik, militer dan pemikiran bidang sosial-budaya lainnya, pengendalian dana, kebijakan, aktivitas, industri, militer, moral dan etika penelitian/rekayasa, dan institusi pendidikan.

            Peran sains dan teknologi yang terakhir terhadap pendidikan ini lah yang merupakan konsep paradigma pendidikan masa depan yang diusung oleh sekolah inovatif terkait dengan tujuan pendidikan yang digambarkan oleh Yager (1992) dalam La Maronta berikut ini :



 
            Program pendekatan STM yang diusung sekolah inovatif memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan dan memperluas pertanyaan, usulan solusi jawaban, pencarian data tambahan, dan menguji ide-ide lebih jauh dari ruang kelas ke komunitas lokal mereka. Dengan kata lain, pembelajaran tidak hanya berlangsung di ruang kelas, tapi juga berlangsung dalam konteks kehidupan dan lingkungan sehari-hari, sehingga bisa langsung diaplikasikan dalam memecahkan problem masyarakat keseharian sebagai satu kesatuan integral dari pembelajaran pada sekolah inovatif.
            Sekolah inovatif juga digambarkan akan membawa perubahan paradigma kepemimpinan dalam organisasi pendidikan. Menurut Una Herlina (2001), sekolah masa depan tidak memiliki kepala sekolah, tapi memiliki komite eksekutif (5 orang guru) yang dipilih secara demokratis, yang masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang berbeda.

            Komite ini dibantu oleh ahli diagnosa dan spesialis media belajar, komputer, penilai bahan ajar, pencipta bahan/media ajar, penulis dan pengakses komputer sistem informasi. Karena itu diharapkan akan tercipta atmosfer/komunikasi belajar yang aktif dan otentik antar para guru, siswa dan staf lain, bahkan dengan orang tua.

            Dengan demikian, sekolah inovatif akan bisa menjawab isu-isu pendidikan di Abad 21 terkait dengan proses desentralisasi pendidikan yang sudah diberlakukan dalam rangka menghasilkan pendidikan yang berkualitas sesuai dengan harapan masyarakat. Dari harapan ini tidak tertutup kemungkinan, tidak semua isu-isu pendidikan ini dapat diterapkan dalam pendidikan pada sekolah inovatif karena berbagai hal, seperti keterbatasan sarana dan ahli (expert) yang menguasai teknologi multimedia elektronik dan informasi. Namun tetap berharap dapat memberikan wawasan yang berguna bagi peserta didik dan masyarakat umumnya.

3.3. Permasalahan
            Cita-cita mewujudan sekolah inovatif di Indonesia bukan tanpa hambatan. Berbagai kendala seputar permasalahan pendidikan kronis dan permasalahan sosial-ekonomi lain masih menggelayuti dunia pendidikan di Indonesia.
            Pemanfaatan TIK di Indonesia, sama seperti di negara berkembang lain, pada umumnya menghadapi suatu dilema, karena negara berkembang masih lebih memprioritaskan perkembangan perekonomian yang bersifat jangka pendek. Padahal dengan pergeseran paradigma pendidikan, perekonomian dunia justru tumbuh dan berkembang berdasarkan ketersediaan infrastruktur informasi yang baik.
            Selain jaringan infrastruktur belum memadai, kendala lain adalah bahasa dan tingkat pendidikan, padahal jaringan informasi dunia umumnya menggunakan Bahasa Inggris. Sebagaimana dimaklumi, sebagian besar masyarakat justru tidak menggunakannya, jangankan untuk sehari-hari, dalam lingkungan pendidikan pun agak sulit diterapkan. Untuk menanggulangi hal tersebut, selain mulai menerapkan program billingual dalam beberapa PBM di sekolah, juga mengkonversi bahasa pemrograman/menu (software) komputer atau jaringan informasi dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia untuk memperluas dan mempermudah akses informasi. (Richard Mengko,2000)
            Perluasan akses inilah yang dirintis oleh sekolah inovatif masa depan, progresif dan profesional. Meskipun membutuhkan alokasi pendanaan yang sangat besar, dimana baru sebagian kecil masyarakat yang bisa menikmatinya, dan baru sebagian lembaga pendidikan (sekolah umum) tertentu yang memiliki fasilitas akses TIK, namun dengan lebih banyak melibatkan partisipasi stakeholder, pemanfaatan TIK di lembaga persekolahan akan lebih murah dan terjangkau, perluasan akses dan pemerataan pendidikan, serta dengan berpedoman pada keadilan (equity) bahwa education for all, diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas SDM dan Indeks Produktivitas di masa yang akan datang.(Geger Riyanto, 2006)


Daftar Referensi

 Aswandi, 2007, Sekolah Efektif, Artikel Pontianak Post Online 30 Juni 2007,          www.pontianakpost.com  / cetak 30/06/07
Burhanudin Toha dan Furqon, 2003, Pengembangan Model Penilaian Sekolah Efektif,       Jurnal Portal Informasi Pendidikan di Indonesia, No. 044/September 2003,              www.depdiknas.go.id /cetak 09/07/07
D. Sudjana, 2004, Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan NonFormal dan     Pengembangan SDM, Bandung, Falah Production.
Enceng Mulyana, 2007,……………………………, Handout Perkuliahan Kebijakan dan Sistem Pendidikan, Ciamis, Program Pasca Sarjana, UNIGAL
Geger Riyanto, 2006, Teknologi Informasi, Inovasi bagi Dunia Pendidikan, Artikel,           www.pendidikan.net / cetak 24/06/07
Isjoni, 2004, Guru Masa Depan, Artikel Pendidikan Networ, www.isjoni@yahoo.co.id / cetak 24/06/07
La Maronta Galib, 2007, Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat dalam Pembelajaran    Sains di Sekolah, Jurnal Portal Informasi Pendidikan di Indonesia,     www.depdiknas.go.id / cetak 24/06/07
Prayekti, 2001, Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat dalam Pembelajaran Sains,         Jurnal Portal Informasi Pendidikan di Indonesia, www.depdiknas.go.id / cetak        24/06/07
Purwanto, 2007, Profesionalisme Guru, Artikel Teknodik, www.pustekkom.go.id / cetak 13/05/07
Richard Mengko, 2000, e-based learning, Jurnal Portal Informasi Pendidikan di     Indonesia, www.depdiknas.go.id / cetak 24/06/07
Rochmat Wahab, 2007, …………………………., Sambutan dalam Diklat E-Learning,     25 Juli 2007, www.uny.ac.id / cetak 12/09/07
Sawali Tuhusetya, 2007, Reformasi Sekolah, Kepemimpinan Feodalistis, dan KTSP,          Artikel www.wordpress.com 20 Agustus 2007 / cetak 12/09/07
Scheerens, Jaap, 2003, Menjadikan Sekolah Efektif, Jakarta, Logos.
Suherli, 2007, ........................................., Handout Mata Kuliah Manajemen Inovasi          dalam Pendidikan, Ciamis, Program Pasca Sarjana, UNIGAL
Siti Nurkoti’ah Kamari, 1998, Pengaruh Pendidikan dan Literasi Sains Teknologi terhadap Kualitas Mengajar, Jurnal Portal Informasi Pendidikan di Indonesia,      www.depdiknas.go.id / cetak 24/06/07
Totoh Santosa, 2005, Peran LPMP dalam Pemetaan Sekolah Lanjutan Pertama (SMP) di             Jawa Barat, Program Penjaminan Mutu Pendidikan Tuntas (PPMPT),     www.lpmpjabar.go.id / cetak 12/09/07
Una Herlina, 2001, Menyingkapi Isu-Isu Pendidikan Abad 21 dalam Desentralisasi            Pendidikan, Jurnal Portal Informasi Pendidikan di Indonesia,   www.depdiknas.go.id / cetak 13/05/07
Wayan Koster, 2001, Analisis Komparatif antara Sekolah Efektif dengan Sekolah Tidak     Efektif, Jurnal Portal Informasi Pendidikan di Indonesia, www.depdiknas.go.id /             cetak 09/07/07



0 komentar:

Posting Komentar