BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan
di era global memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam
menyiapkan SDM yang berkualitas dan kompeten di bidangnya untuk mewujudkan
masyarakat yang maju, kompetitif dan siap menghadapi serta menjawab tantangan
global. Sebagai sarana mewujudkan cita-cita tersebut, maka diperlukan suatu
sistem pendidikan yang sistematis, terencana dan terarah yang mampu memberdayakan
seluruh fungsi manajemen pendidikan, meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. Hal ini ditempuh dalam rangka
terselenggaranya layanan pendidikan yang berorientasi pada mutu (quality assurance), sehingga dihasilkan output dan outcome yang sesuai dan relevan dengan standar yang dibutuhkan.
Sebagaimana
diketahui, era informasi global sangat berdampak secara positif dan negatif
pada kehidupan masyarakat, terutama sektor pendidikan. Hal ini ditandai dengan
penggandaan kecepatan perkembangan IPTEK, yang pada kurun tahun 1800 – 1900
hanya 100 tahun sekali, lalu setiap 20 tahun pada kurun 1940-an, kemudian
setiap 7 tahun pada kurun 1970-an, dan setiap 2 tahun pada kurun 2000-an.
Diperkirakan kecepatan ini akan menjadi dua kali lipat setiap 35 hari pada
kurun waktu 2015 yang akan datang. (Rachmat Wahab, 2007).
Dalam
tulisan Sawali Tuhusetya (2007), dikemukakan bahwa reformasi dunia persekolahan
(pendidikan) di Indonesia
berjalan lambat, kalau tidak mau dibilang “jalan di tempat”. Ada beberapa faktor penyebabnya, di antaranya
kemampuan kepemimpinan dari kepala sekolah, kepedulian stakeholder, dan kinerja pengawas (supervisor) yang kurang baik.
Salah
satu bukti kurang mulusnya reformasi pendidikan, khususnya di Jawa Barat,
adalah hasil Uji Kompetensi Guru (kemampuan akademik dan keguruan) dan Siswa
dalam 14 mata pelajaran di 3 kabupaten (Cianjur, Kuningan dan Karawang), ke
duanya hanya di bawah 60%. Kemudian
pengklasifikasian efektivitas sekolah (SMP) dari 120 SMP yang ada di 6
kabupaten (Ciamis, Tasikmalaya, Indramayu, Garut, Cianjur dan Sukabumi), yang
menunjukkan bahwa SMP yang masuk kategori efektif hanya 11%, sedangkan SMP yang
cukup efektif 57%, kurang efektif 21%,
dan SMP yang tidak efektif sebesar 11%. Berdasarkan data ini, didapatkan bahwa
efektivitas sekolah dipengaruhi oleh dukungan dimensi organisasi, keuangan dan
ketenagaan. Dengan kata lain, peningkatan kualitas proses pendidikan di sekolah
secara keseluruhan akan berhasil bila memiliki manajemen organisasi sekolah
yang baik dan teratur, dukungan dana yang memadai, serta ketenagaan yang
produktif. (Totoh Santosa, Sumber : Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP)
Jawa Barat, 2005)
Seiring
dengan implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Persekolahan) atau
dikenal dengan KTSP, dan implementasi Manajemen Berbasis Mutu atau Total Quality Management (TQM) di setiap jenjang persekolahan,
maka sudah saatnya reformasi pendidikan jangan hanya jadi wacana, tapi harus
dibarengi dengan perubahan paradigma pendidikan.
Perubahan
ini harus dimulai dari orientasi pola kepemimpinan kepala sekolah, peningkatan
kinerja dan pemberdayaan segenap komponen sekolah (pendidik, tenaga
kependidikan, fasilitas) dan fungsi manajemen organisasi sekolah, serta
dukungan partisipatif (dana dan proses pendidikan) dari stakeholder.
Dari perubahan
pola (paradigma) ini diharapkan lahir konsep sekolah inovatif dan efektif
berperspektif global yang memiliki visi masa depan, dengan esensi yang
terkandung di dalamnya berupa pemberdayaan fungsi sekolah sebagai tempat
belajar yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pengalaman pembelajaran
yang bermutu bagi peserta didiknya. Sebagaimana dikutip oleh Burhanudin Toha
dan Furqon (2003) dari Barrow R (1986), esensi inilah yang merupakan tugas
pokok atau misi sekolah sebagai dasar bagi peserta didiknya dan analisis
kinerja sekolah efektif.
1.2. Tujuan
Pembelajaran pendidikan yang berperspektif global
merupakan satu cita-cita model pembelajaran profesional masa depan. Perspektif
global ini hanya bisa dicapai oleh sekolah inovatif dan visioner yang tetap
mengacu pada dasar ideologi pendidikan, yaitu pembebasan dari kebodohan,
keterbelakangan, kemiskinan, penindasan, penyakitan, keterpurukan dan
ketidakadilan. Semua ini merupakan ungkapan kasih dari lembaga pendidikan dan pendidik
(guru) terhadap manusia “berusia muda” dalam pembentukan fundamen pribadi dan
sosialnya.
Sekolah inovatif tidak harus menjadi
monopoli dari sekolah formal yang ada, namun sekolah nonformal dan informal pun
memiliki peluang yang sama, yang penting memiliki karakteristik pembelajaran
masa depan (school of future/tomorrow),
berpedoman pada prinsip empat pilar pembelajaran (learning to be, to know, to do, to live together) dan pendidikan
sepanjang hayat (life-long education)
serta pendidikan untuk semua (education
for all). Selain
itu, relevan dan kompetitif dengan kebutuhan atau tuntutan global.
Sesuai alur pikir
kebijakan pendidikan nasional, sekolah inovatif atau apa pun namanya, tetap
harus bertujuan untuk menciptakan insan cerdas dan kompetitif, dengan ditandai
oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, produktif dan kompetitif
partisipatif. (Enceng Mulyana, 2007)
1.3. Pengertian
Menurut dua mantan Mendikbud, Fuad Hasan (2007)
sebagaimana dikutip oleh Aswandi (2007), pendidikan pada hakikatnya merupakan
upaya pemberdayaan kemampuan manusia ke arah yang lebih baik. Karena itu,
proses pendidikan tidak harus ditafsirkan secara sempit hanya bisa terjadi di
lingkungan persekolahan (formal). Aswandi juga mengutip Daoed Yoesoef (2007),
bahwa pendidikan bisa terjadi di lingkungan pendidikan yang bukan “persekolahan”
atau di lembaga alternatif pengganti sekolah, bahkan di rumah sebagai home schooling. Hal ini merupakan
sesuatu yang wajar bila mensikapi kondisi dan kualitas pendidikan persekolahan
formal yang ada sekarang, yang serba tidak pasti, sebagai bukti satu kegagalan
misi pendidikan nasional.
Meskipun pada kesempatan tersebut,
Daoed Yoesoef juga mengingatkan bahwa home
schooling atau gerakan sekolah tanpa sekolah (deschooling) jangan dilegalisasi, sebab mengutip pendapat Postman
(1987), seburuk-buruk pembelajaran di sekolah, tetap merupakan sarana/tempat
belajar bersosialisasi yang mampu menginternalisasi dan mensosialisasikan
nilai-nilai (sistem nilai), serta budaya.
Dengan demikian, menurut Daoed
Yoesoef, proses pembelajaran (pendidikan) di lembaga sekolah mana pun harus
tetap berorientasi pada pembentukan manusia beradab dan bermasyarakat (citizenship), serta manusia pemikir (respublica). Kemampuan suatu lembaga
sekolah untuk mendidik peserta didik menjadi manusia-manusia seperti ini
merupakan salah satu indikator efektivitas kinerja sekolah tersebut. Lembaga
sekolah yang efektif (effective school)
yang secara terus-menerus menghasilkan peningkatan kualitas dan pembaruan kemampuan
dari para lulusannya, merupakan salah satu indikator sekolah yang inovatif (innovative school).
Jadi suatu sekolah inovatif pasti
efektif. Sekolah dengan tipe ini biasanya identik dengan nama lain, seperti
sekolah baik (good school), atau
sekolah terperbaiki (improved school),
atau sekolah sukses (succesful school),
atau sekolah unggul (excellent school),
bahkan sekolah mahal/mewah (exclusive
school) atau sekolah bernilai tambah/favorit (favorite school).
Namun apa pun julukannya, menurut
Coleman dan Jenck, seperti dikutip Aswadin, sekolah efektif lebih tepat
diambil, karena lebih mengacu pada efektivitas manajemen sekolah yang mampu
menampilkan kinerja unit organisasi sekolah secara efektif melalui output/outcome sekolah, bukan
semata-mata pada kualitas input dan
kelengkapan sarana/prasarana.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1. Konsep Sekolah Inovatif
Konsep sekolah inovatif muncul sebagai ungkapan sikap
atas isu-isu pendidikan di Abad 21, era globalisasi teknologi informasi dan
desentralisasi, serta otonomi daerah. Sekolah inovatif yang efektif atau
sekolah efektif yang inovatif (effective-innnovative
school) merupakan gambaran sekolah masa depan (the schools of future/tomorrow).
Menurut Levine (1994), dalam
Burhanudin Toha dan Furqon (2003), sekolah efektif merupakan sekolah yang
menunjukkan tingkat kinerja penyelenggaraan PBM yang diharapkan. Hal ini
ditandai dengan hasil belajar dari peserta didik yang bermutu dan memuaskan
sesuai tugas pokoknya, sebagai produk akumulatif dari seluruh layanan yang
dilakukan oleh sekolah dan pengaruh dari suasana/iklim kondusif yang diciptakan
di sekolah.
Bila sekolah tersebut berhasil
memenuhi kewajibannya memuaskan peserta didik dan masyarakat (stakeholder), berarti sekolah tersebut
memiliki perencanaan yang menitikberatkan pada perluasan fungsi dan wawasan
kelembagaan untuk memecahkan permasalahan besar dalam kehidupan masyarakat
sebagai pelanggan. Perencanaan ini ditandai dengan upaya mengembangkan gagasan
dan kegiatan baru dalam memecahkan masalah besar masyarakat, seperti
meningkatnya pengangguran, meluasnya kemiskinan, rendahnya rasio lama sekolah,
maraknya kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkoba, tingginya angka
pertumbuhan penduduk, menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kegagalan sistem
pendidikan.
Inilah yang disebut perencanaan
inovatif, yang biasanya juga diikuti dengan pembentukan lembaga baru, perubahan
orientasi pada tindakan/kegiatan, dan penggerakan sumber-sumber daya yang
diperlukan.(Sudjana, 2004 : 84).
Sekolah efektif
dipastikan memiliki perencanaan inovatif, sehingga bisa dikatakan sebagai
sekolah inovatif. Jadi sekolah inovatif adalah sekolah efektif yang memiliki
perencanaan inovatif berperspektif global, progresif dan profesional. Karena
itu, sekolah efektif yang inovatif akan mampu mewujudkan apa yang disebut
sebagai “self-renewing schools” atau
“adaptive schools”, seperti
diungkapkan oleh Garmston dan Wellman (1995) dalam Burhanudin Toha dan Furqon.
Menurut O’Nell (1995) dalam
Burhanudin Toha dan Furqon, model sekolah ini disebut sebagai “learning organization”, yaitu suatu
kondisi yang menganggap lembaga sekolah sebagai satu entitas yang mampu
menangani permasalahan yang dihadapinya melalui unjuk kapabilitas dalam
berinovasi. Inilah yang merupakan model sekolah berperspektif Teori Organisme(Organik), yang
menganggap dunia ini bukan benda mati, tapi berupa suatu energi yang memiliki
kapasitas untuk berubah menyesuaikan diri dengan lingkungannya (adaptasi).
Berdasarkan perspektif ini, bentuk
kehidupan apa pun hanya akan mampu bertahan (survive) apabila organisme (sekolah) itu mampu memberikan respons
yang tepat untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan di sekitarnya. Dengan
kata lain, menurut Garmston dan Wellman, sekolah merupakan “The Adaptive Organism” yang harus secara
terus-menerus mempertanyakan dua hal esensial, yaitu :
- Apa yang menjadi hakikat keberadaan sekolah ? dan
- Apa yang menjadi tujuan utama sekolah ?
Pendapat
senada dikemukakan oleh Getzel (1969) dalam Wayan Koster (2001), bahwa model
sekolah berperspektif ini selalu berorientasi kuat pada hubungan antara apa
yang telah dirumuskan dengan apa yang telah dicapai/dikerjakan. Wayan Koster
juga mengemukakan konsep sekolah inovatif-efektif yang dikutip dari Bosker dan
Guldemon (1991), yang terdiri dari lima komponen, yaitu context, input, proccess, output dan outcome. Dari ke lima komponen tersebut, komponen input terdiri
dari tiga aspek, yaitu karakteristik sekolah, karakteristik guru dan
karakteristik siswa. Komponen inilah yang secara fisik (tangible) mudah teramati.
Berdasarkan
penelitian Wayan Koster, sekolah inovatif-efektif memiliki karakteristik-karakteristik
dari komponen input-nya yang terbagi menjadi beberapa indikator dengan
deskripsi skor (angka) nominal sebagai berikut :
Aspek/Indikator
|
Skor
(Angka) Nominal (minimal)
|
1. Karakteristik Sekolah
|
|
1.1. Luas Gedung
|
3.564 m2
|
1.2. Luas Laboratorium
|
115,6 m2
|
1.3. Luas Perpustakaan
|
112,3 m2
|
1.4. Banyaknya Kelas
|
23
|
1.5. Banyaknya Siswa
|
1.235
|
1.6. Banyaknya Dana
|
Rp
985.000.000,00
|
1.7. Rasio Siswa dengan Kelas
|
54,0
|
1.8. Rasio Dana dengan Siswa
|
797,571
|
Aspek/Indikator
|
Skor
(Angka) Nominal (minimal)
|
2. Karakteristik Guru
|
|
2.1. Umur Guru
|
48 tahun
|
2.2. Rasio Jumlah Guru Ber-pendidikan terakhir (S1)
|
16,4
|
2.3. Pengalaman Mengajar Rata-rata semua guru
|
18,3 tahun
|
2.4. Penghasilan (gaji) guru per tahun
|
Rp 7.574.435,00
|
Aspek/Indikator
|
Skor
(Angka) Nominal (minimal)
|
3. Karakteristik siswa
|
|
3.1. Jumlah jam belajar di rumah/minggu
|
17,5
|
3.2. Jumlah jam les per minggu
|
9,5
|
3.3. Pendidikan terakhir (S1) ortu siswa
|
16,1
|
3.4. Penghasilan ortu per bulan
|
Rp 2.750.345,00
|
3.5. Prestasi Siswa
|
Skor
|
Kategori
|
3.5.1. NEM (skor Baku)
|
6,8
|
Tinggi
|
3.5.2. Konsep Diri (skala Likert)
|
150
|
Positif
|
3.5.3. Kepuasan Kerja Guru (skala Likert)
|
110,36
|
Puas
|
3.5.4. Partisipasi Ortu siswa
(skala Likert)
|
90,75
|
Tinggi
|
3.5.5. Iklim Sekolah (skala Likert)
|
120,42
|
Baik
|
Burhanudin Toha dan Furqon menambahkan data karakteristik
model sekolah inovatif, yaitu efektivitas setiap layanan terhadap siswa dan
stakeholder sebagai berikut :
No.
|
Jenis Layanan
|
Skor Ideal
|
Persentase
Efektivitas
|
1
|
Pembelajaran
|
62,67
|
72,33%
|
2
|
Manajamen dan
Iklim Sekolah
|
62,67
|
75,04%
|
3
|
Bimbingan dan
Konseling
|
57,00
|
74,82%
|
4
|
Kesiswaan dan
Ekstrakurikuler
|
57,33
|
63,34%
|
5
|
Kemitraan dengan
Masyarakat
|
39,00
|
79,82%
|
Beberapa
pendapat lain tentang model sekolah yang berperspektif efektif-inovatif telah
banyak dikemukakan oleh beberapa pakar, semuanya berorientasi hampir sama,
yaitu kepada investasi dalam pengembangan kemampuan/keterampilan intelektual
dan sumber daya manusia sebagai bekal untuk mempertahankan kehidupan ke arah
yang lebih baik. Sejalan dengan itu, Townsend dalam Aswandi (2007) mengemukakan
bahwa performansi akademik (prestasi belajar) bukan satu-satunya indikator
penentuan sekolah inovatif-efektif, sebagaimana dikemukakan oleh Scheerens (2003 : 6), namun ditentukan pula oleh
sejumlah tujuan sekolah yang bersifat non akademik.
Perwujudan
sekolah inovatif tidak hanya ditandai adanya gedung yang megah dan lengkap
sarana-prasarananya, tapi tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan PBM
yang efektif, kepemimpinan yang kuat dan terpercaya, serta dukungan
partisipatif dari orang tua (stakeholder) yang dapat menumbuhkembangkan potensi
siswa secara maksimal.
Setiap
negara memiliki perbedaan dalam mengimplementasikan dan menentukan besaran
angka indikator (prediktor) efektivitas ini, karena jelas memiliki iklim/budaya
yang berbeda.
2.2. Tujuan Inovasi dalam Pembelajaran
Pada
hakikatnya, pendidikan adalah satu upaya yang dilakukan dalam rangka
pengembangan sumber daya manusia. Strategi pendidikan dalam upaya ini akan
mempengaruhi landasan dan analisis kebijakan dalam pendidikan itu sendiri dengan
memperhitungkan/mempertimbangkan segala aspek, baik ekonomi, politik,
sosial-budaya dan teknologi. Dari strategi ini akan dihasilkan program-program
(konsep-konsep) pendidikan yang terkoordinasi dengan sektor lain (layanan
kesehatan) yang berorientasi progresif melalui jalur formal/nonformal/informal
dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaitu menciptakan insan
cerdas, berkualitas, produktif, kompetitif, dan partisipatif. Hubungan ini digambarkan
melalui flowchart berikut :
Dikutip
oleh Suherli (2007), menurut Everett M. Rogers (1983), inovasi merupakan suatu
gagasan, teknik atau benda yang disadari dan diterima oleh seseorang atau
kelompok untuk diadopsi. Sedangkan menurut Stephen P. Robbins (1994), suatu
inovasi dapat diterapkan untuk memprakarsai suatu produk atau proses atau jasa
dan memperbaiki nilainya. Dari dua definisi ini, suatu inovasi memiliki
karakteristik proses sebagai berikut :
Pembelajaran
(instruction) merupakan
upaya/kegiatan terencana untuk mengkondisikan seseorang atau sekelompok orang
terangsang untuk belajar atau membelajarkan seseorang atau sekelompok orang
melalui berbagai upaya dan strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian
tujuan yang direncanakan.
Dengan
demikian, inovasi pembelajaran dipersepsikan sebagai bagian dari kegiatan
pendidikan yang merupakan kesadaran pelaku pendidikan sebagai sifat alami
manusia yang selalu ingin berkembang ke arah yang lebih baik (mendapat layanan
pendidikan yang lebih bermutu). Suatu inovasi pembelajaran selalu mengarah pada
posisi mencari solusi permasalahan pendidikan, dan harus tetap berpihak pada
siswa dalam mencapai hasil belajar optimal.
Sekolah
inovatif harus bercirikan suatu model/konsep sekolah yang berbeda (new condition) dari sebelumnya atau dari
sekolah lain, membawa angin perubahan/pembaharuan ke arah yang lebih baik dalam
penyelenggaraan pendidikan, dan memberikan nilai tambah terhadap berbagai aspek
kehidupan.
Suatu
sekolah inovatif akan tetap dipengaruhi oleh sistem internal organisasi sekolah
yang bersangkutan. Untuk mencapai efektivitas kinerjanya, sekolah inovatif
harus memenuhi syarat yang baik dan stabil dalam hal kejelasan tujuan lembaga
sekolah, kejelasan pendelegasian tugas dengan deskripsi tertentu, kejelasan
struktur wewenang, kejelasan peraturan dasar dan umum, serta kejelasan pola
hubungan informasi yang teruji.(Suherli, 2007)
Setelah
didapat kriteria-kriteria ini, barulah suatu inovasi pembelajaran dapat
didifusikan kepada pihak lain (guru, sekolah, siswa, stakeholder, mitra kerja
dll), yaitu mempublikasikan penemuan inovasi beserta kelebihan dan
kekurangannya, memberi kesempatan mengkritisi/menguji penemuan inovasi
tersebut, memperbaiki penemuan inovasi tersebut bila terdapat kelemahan,
mempatenkan penemuan inovasi tersebut bila sudah diakui memiliki banyak nilai
kegunaan (nilai tambah) terhadap dunia pendidikan dan masyarakat umum, serta
memberi kesepatan untuk mengaplikasikan penemuan inovasi tersebut disesuaikan
dengan kebutuhan dan keterbatasan yang dimilikinya.
BAB III
APLIKASI DAN PERMASALAHAN SEKOLAH INOVATIF
3.1. Konsep Aplikasi Sekolah Masa Depan
Kemajuan IPTEK berpengaruh terhadap pola pikir maupun
pola hidup manusia, baik positif atau negatif. Upaya untuk mengantisipasi
pengaruh perkembangan IPTEK di era globalisasi memerlukan kontrol sosial yang
melekat pada diri seseorang. Hal ini
tidak lepas dari peran serta dunia pendidikan, yang mana siswa sebagai target
pembelajaran harus mampu merespons segala bentuk perkembangan IPTEK untuk
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari atau untuk memecahkan permasalahan
yang dihadapi dalam kehidupannya.
Dengan
kata lain, menurut Siti Nurkoti’ah Kamari (1997), siswa harus melek sains (science literacy), sebagai kemampuan
mengenal hasil teknologi beserta dampaknya, kemampuan menggunakan produk
teknologi dan memeliharanya, kemampuan menyelesaikan masalah dengan menggunakan
konsep sains, kemampuan membuat hasil rekayasa teknologi yang disederhanakan,
serta kemampuan menganalisis fenomena kejadian berdasarkan konsep sains yang
didapat dalam pembelajarannya.
Prayekti
(2001) menyatakan, bahwa penguasaan IPTEK merupakan kunci penting dalam Abad
21, sehingga peserta didik harus dipersiapkan untuk untuk memiliki sikap, mengenal,
memahami, dan menguasai IPTEK dalam rangka peningkatan kualitas hidupnya. Sekolah
inovatif berupaya mengembangkan sikap yang terbentuk pada siswa dalam memahami
suatu fakta, kemudian menginterpretasikannya ke dalam konteks kehidupan pribadi
dan lingkungannya.
Sikap
inilah menurut Suharsimi Arikunto (1995) yang merupakan bagian dari tingkah
laku manusia sebagai gejala atau gambaran kepribadian yang memancar keluar dari
hasil pembelajaran efektif. Dari sikap ini, menurut Wynne Harlem (1987)
diharapkan menghasilkan 9 sikap ilmiah yang dapat dikembangkan peserta didik,
yaitu : ingin tahu (curiousity),
ingin mendapat yang baru (originality),
ingin kerja sama (cooperative), tidak
putus asa (perseverance), tidak
berprasangka (open-mindedness), mawas
diri (self-criticism), bertanggung
jawab (responsibility), berpikir
bebas (independence in thinking), dan
disiplin (self-discipline).
(Prayekti, 2001)
Sekolah
inovatif yang efektif pelan tapi pasti akan makin dibutuhkan oleh masyarakat.
Aplikasi IPTEK terutama teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan semakin
dibutuhkan sebagai media pembelajaran. Sekolah inovatif tidak hanya ditandai
oleh fasilitas serba elektronik (e-) dan komputerisasi dalam setiap aktivitas
kelembagaan dan fasilitasnya, tapi juga dibarengi aplikasi TIK oleh para
peserta didik, guru, dan staf lain, bahkan oleh masyarakat sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari.
Fasilitas
dan kegiatan yang berbasis elektronik (e-information)
dan internet/intranet akan menjadi trade mark sekolah inovatif, seperti aplikasi
billingual atau dua bahasa pengantar
dalam PBM (Inggris-Indonesia), e-learning
(PBM) atau teleconference (PBM jarak
jauh), e-mail (Komunikasi), e-commerce (Transaksi Perdagangan), e-payment (Pembayaran SPP), e-administration atau e-document (Staf TU), e-book atau cyber/hypertext (Buku Pelajaran), Cyber Library (Perpustakaan Maya), e-community (Komunitas Maya), sampai kepada e-examination atau on line
test (UTS/UAS).
Tidak
hanya itu, sekolah inovatif masa depan akan bercirikan unjuk kerja artifisial
dari para pengelola pendidikan, terutama guru. Profesi guru di Abad 21 tidak
cukup hanya membelajarkan siswa satu kelas atau beberapa kelas di satu sekolah,
tapi sejumlah kelas dari berbagai sekolah dalam satu waktu sekaligus. Bahkan guru mampu
membelajarkan jutaan siswa di ”kelas dunia” secara individual pada waktu yang
sama. Untuk itu, tentunya diperlukan penguasaan teknologi dan kemampuan bahasa asing
(Inggris) yang optimal dari guru sebagai antisipasi jawaban terhadap
kemungkinan tersebut. (Purwanto : 2007).
Implikasinya, menurut Isjoni (2004),
guru masa depan pada sekolah inovatif harus memiliki kemampuan ekstra sebagai :
- Planner, yaitu memiliki program kerja yang jelas tidak hanya yang bersifat rutin, tapi bagaimana menyusun program kerja yang bisa menghasilkan PBM maksimal.
- Inovator, yaitu memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan dalam pola PBM, sehingga menghasilkan PBM yang efektif.
- Motivator, yaitu memiliki keinginan untuk terus belajar pada diri sendiri dan juga pada anak didik.
- Personal Capability, yaitu memiliki pengetahuan kecakapan/keterampilan/sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola PBM secara efektif.
- Developer, yaitu memiliki keinginan mengembangkan diri dan menularkan kemampuannya kepada semua orang termasuk anak didik, peka terhadap perkembangan IPTEK, serta mampu memberdayakan multimedia (komputer, internet, dan media lain) dalam PBM.
Selain itu, masih ada beberapa
indikator guru masa depan yang merupakan kriteria terwujudnya sekolah inovatif,
yaitu guru harus mampu berperan sebagai fasilitator, pelindung, pembimbing,
figur yang baik, loyal, disiplin, tanggung jawab, kreatif, humanis, memiliki
etika moral, peduli, rendah hati, kritis, emosi terkendali (IQ,EQ, SQ),
manajemen waktu, performance intelektual
dan fisik yang baik, serta tentu saja punya ciri khas “The Habits for Highly Effective People” dan “Quantum Teaching” dalam segala aktivitasnya, baik di sekolah atau
di lingkungannya.
3.2. Paradigma Pendidikan Masa Depan
Ada tiga kunci dalam paradigma pendidikan masa depan,
yaitu sains, teknologi dan masyarakat. Karena itu dibutuhkan pendekatan sains,
teknologi dan masyarakat (STM) dan interaksi ke tiganya dalam kaitannya
mencapai tujuan pendidikan secara umum. Sains merupakan proses/metode
penyelidikan (inquiry methods) yang
meliputi cara berpikir, sikap dan langkah kegiatan orang (ilmuwan) untuk
memperoleh produk-produk sains atau ilmu pengetahuan ilmiah. Hal ini berkaitan
dengan kecenderungan sikap/tindakan, keingintahuan, kebiasaan berpikir, dan
seperangkat prosedur yang memiliki nilai tanggung jawab moral, sosial,
kejujuran, ketelitian, ketekunan, kehati-hatian, toleran, hemat dan pengambilan
keputusan.
Teknologi
adalah suatu keahlian/keterampilan khusus (knowing
how) secara fisik berdasarkan pengetahuan, pemikiran kreatif, perancangan,
pengembangan, dan membuahkan hasil/nilai yang bemanfaat untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi manusia. Sedangkan
masyarakat, menurut Aikenhead (1991), disebut sebagai society is the social milieu. Artinya, lingkungan pergaulan,
teknologi,pranata sosial, aspek sosial budaya, dan nilai-nilai yang ada di
masyarakat.(La Maronta Galib, 2007)
Hurd dan
Whitefield (1974) dalam La Maronta, hubungan (interaksi) simbiosis ke
tiganya digambarkan sebagai berikut
:
Hubungan
ini oleh Dimyati (1988) dalam La Maronta dikatakan, bahwa teknologi dan sains
tidak pernah
terpisahkan. Sains dan teknologi berperan dalam meningkatkan kesejahteraan
hidup masyarakat, baik dalam bentuk tanggung jawab sosial, membentuk opini dan
masalah sosial, pengambilan keputusan dan tindakan sosial, penyelesaian masalah
praktis dan sosial, perkembangan ekonomi, politik, militer dan pemikiran bidang
sosial-budaya lainnya, pengendalian dana, kebijakan, aktivitas, industri,
militer, moral dan etika penelitian/rekayasa, dan institusi pendidikan.
Peran
sains dan teknologi yang terakhir terhadap pendidikan ini lah yang merupakan
konsep paradigma pendidikan masa depan yang diusung oleh sekolah inovatif
terkait dengan tujuan pendidikan yang digambarkan oleh Yager (1992) dalam La
Maronta berikut ini :
Program pendekatan STM yang diusung
sekolah inovatif memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan dan
memperluas pertanyaan, usulan solusi jawaban, pencarian data tambahan, dan
menguji ide-ide lebih jauh dari ruang kelas ke komunitas lokal mereka. Dengan
kata lain, pembelajaran tidak hanya berlangsung di ruang kelas, tapi juga
berlangsung dalam konteks kehidupan dan lingkungan sehari-hari, sehingga bisa
langsung diaplikasikan dalam memecahkan problem masyarakat keseharian sebagai
satu kesatuan integral dari pembelajaran pada sekolah inovatif.
Sekolah inovatif juga digambarkan
akan membawa perubahan paradigma kepemimpinan dalam organisasi pendidikan.
Menurut Una Herlina (2001), sekolah masa depan tidak memiliki kepala sekolah,
tapi memiliki komite eksekutif (5 orang guru) yang dipilih secara demokratis,
yang masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang berbeda.
Komite ini dibantu oleh ahli
diagnosa dan spesialis media belajar, komputer, penilai bahan ajar, pencipta
bahan/media ajar, penulis dan pengakses komputer sistem informasi. Karena itu
diharapkan akan tercipta atmosfer/komunikasi belajar yang aktif dan otentik
antar para guru, siswa dan staf lain, bahkan dengan orang tua.
Dengan demikian, sekolah inovatif
akan bisa menjawab isu-isu pendidikan di Abad 21 terkait dengan proses
desentralisasi pendidikan yang sudah diberlakukan dalam rangka menghasilkan
pendidikan yang berkualitas sesuai dengan harapan masyarakat. Dari harapan ini
tidak tertutup kemungkinan, tidak semua isu-isu pendidikan ini dapat diterapkan
dalam pendidikan pada sekolah inovatif karena berbagai hal, seperti
keterbatasan sarana dan ahli (expert)
yang menguasai teknologi multimedia elektronik dan informasi. Namun tetap
berharap dapat memberikan wawasan yang berguna bagi peserta didik dan masyarakat
umumnya.
3.3. Permasalahan
Cita-cita mewujudan sekolah inovatif di Indonesia bukan
tanpa hambatan. Berbagai kendala seputar permasalahan pendidikan kronis
dan permasalahan sosial-ekonomi lain masih menggelayuti dunia pendidikan di
Indonesia.
Pemanfaatan
TIK di Indonesia, sama seperti di negara berkembang lain, pada umumnya
menghadapi suatu dilema, karena negara berkembang masih lebih memprioritaskan
perkembangan perekonomian yang bersifat jangka pendek. Padahal dengan
pergeseran paradigma pendidikan, perekonomian dunia justru tumbuh dan
berkembang berdasarkan ketersediaan infrastruktur informasi yang baik.
Selain
jaringan infrastruktur belum memadai, kendala lain adalah bahasa dan tingkat
pendidikan, padahal jaringan informasi dunia umumnya menggunakan Bahasa
Inggris. Sebagaimana dimaklumi, sebagian besar masyarakat justru tidak
menggunakannya, jangankan untuk sehari-hari, dalam lingkungan pendidikan pun
agak sulit diterapkan. Untuk menanggulangi hal tersebut, selain mulai
menerapkan program billingual dalam
beberapa PBM di sekolah, juga mengkonversi bahasa pemrograman/menu (software) komputer atau jaringan
informasi dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia untuk memperluas dan
mempermudah akses informasi. (Richard Mengko,2000)
Perluasan
akses inilah yang dirintis oleh sekolah inovatif masa depan, progresif dan
profesional. Meskipun membutuhkan alokasi pendanaan yang sangat besar, dimana
baru sebagian kecil masyarakat yang bisa menikmatinya, dan baru sebagian
lembaga pendidikan (sekolah umum) tertentu yang memiliki fasilitas akses TIK, namun
dengan lebih banyak melibatkan partisipasi stakeholder, pemanfaatan TIK di
lembaga persekolahan akan lebih murah dan terjangkau, perluasan akses dan
pemerataan pendidikan, serta dengan berpedoman pada keadilan (equity) bahwa education for all, diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas SDM
dan Indeks Produktivitas di masa yang akan datang.(Geger Riyanto, 2006)
Daftar Referensi
Aswandi, 2007, Sekolah Efektif, Artikel Pontianak Post Online 30 Juni 2007, www.pontianakpost.com
/ cetak 30/06/07
Burhanudin Toha dan Furqon, 2003, Pengembangan Model Penilaian Sekolah Efektif,
Jurnal Portal Informasi Pendidikan di
Indonesia, No. 044/September 2003, www.depdiknas.go.id /cetak 09/07/07
D. Sudjana, 2004, Manajemen
Program Pendidikan untuk Pendidikan NonFormal dan Pengembangan SDM, Bandung,
Falah Production.
Enceng Mulyana, 2007,……………………………, Handout Perkuliahan
Kebijakan dan Sistem Pendidikan, Ciamis,
Program Pasca Sarjana, UNIGAL
Geger Riyanto, 2006, Teknologi Informasi, Inovasi bagi Dunia
Pendidikan, Artikel, www.pendidikan.net / cetak 24/06/07
Isjoni, 2004, Guru
Masa Depan, Artikel Pendidikan Networ, www.isjoni@yahoo.co.id / cetak 24/06/07
La Maronta Galib, 2007, Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat dalam Pembelajaran Sains di Sekolah, Jurnal Portal Informasi
Pendidikan di Indonesia, www.depdiknas.go.id / cetak 24/06/07
Prayekti, 2001, Pendekatan
Sains Teknologi Masyarakat dalam Pembelajaran Sains, Jurnal Portal Informasi Pendidikan di
Indonesia, www.depdiknas.go.id /
cetak 24/06/07
Purwanto, 2007, Profesionalisme
Guru, Artikel Teknodik, www.pustekkom.go.id
/ cetak 13/05/07
Richard Mengko, 2000, e-based
learning, Jurnal Portal Informasi Pendidikan di Indonesia,
www.depdiknas.go.id / cetak 24/06/07
Rochmat Wahab, 2007, …………………………., Sambutan dalam Diklat
E-Learning, 25 Juli 2007, www.uny.ac.id / cetak 12/09/07
Sawali Tuhusetya, 2007, Reformasi Sekolah, Kepemimpinan Feodalistis, dan KTSP, Artikel www.wordpress.com 20 Agustus 2007 / cetak
12/09/07
Scheerens, Jaap, 2003, Menjadikan Sekolah Efektif, Jakarta,
Logos.
Suherli, 2007, .........................................,
Handout Mata Kuliah Manajemen Inovasi dalam
Pendidikan, Ciamis, Program Pasca Sarjana, UNIGAL
Siti Nurkoti’ah Kamari, 1998, Pengaruh Pendidikan dan Literasi Sains
Teknologi terhadap Kualitas Mengajar,
Jurnal Portal Informasi Pendidikan di Indonesia, www.depdiknas.go.id /
cetak 24/06/07
Totoh Santosa, 2005, Peran LPMP dalam Pemetaan Sekolah Lanjutan
Pertama (SMP) di Jawa Barat,
Program Penjaminan Mutu Pendidikan Tuntas (PPMPT), www.lpmpjabar.go.id / cetak 12/09/07
Una Herlina, 2001, Menyingkapi Isu-Isu Pendidikan Abad 21 dalam
Desentralisasi Pendidikan,
Jurnal Portal Informasi Pendidikan di Indonesia, www.depdiknas.go.id /
cetak 13/05/07
Wayan Koster, 2001, Analisis Komparatif antara Sekolah Efektif
dengan Sekolah Tidak Efektif,
Jurnal Portal Informasi Pendidikan di Indonesia, www.depdiknas.go.id / cetak 09/07/07
0 komentar:
Posting Komentar