Minggu, 16 Maret 2014

MEMBEDAH GURU PROFESSIONAL





Kita memang prihatin dengan indeks kualitas manusia Indonesia yang menduduki urutan ke 112 dari 147 negara (data UNDP,2003). Negara Indonesia yan telah dibangun hampir 62 tahun semenjak kemerdekaan pada tahun 1945 dengan keadaan sejarang ini menduduki urutan 112. Sulit dibayangkan seperti apa keadaan negara-negara yang memilki unrutan awal 1-10. Namun kita tidak boleh hanya prihatin, terpaku, diam diri dan aktif mengagumi negara-negra orang lain. Pada tataran aksi kita harus melakukan sesuatu, berpikir, mengevaluasi serta introspeksi diri mengapa pada banyak kesempatan Indonesia berada pada urutan yang memprihatinkan.
Menarik kembali jam sejarah bahwa pada tahun 1970 negeri jiran Malyasia pernah mengimpor guru-guru dari indonesia. Namun jarum sejarah terus berputar mencatat negara Malyasia sebagai suatu negara yang telah jauh meninggalkan sang gurunya.
Kilas balik berbicara masalah indeks kualitas manusia adalah masalah pendidikan secara makro. Secara mikro pendidikan mengacu pada proses pengelolaan managemen pembelajaran di kelas. Banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan dalan mengelola pembelajaran dalam kelas. Salah satu variabel tersebut adalah guru yang profesional. Guru profesional harus dapat menjadi aktor di kelas yang mengamtarkan pembelajar ke cita-cita menuju empat pilar pendidikan yang telah digariskan oleh UNISCO. Guru dapat mengantarkan pembelajar meraih ilmu pengetahuan (learning to know), meraih kecakapan jidup (life skill) dan memiliki ketrampilan untuk sesuatu yang berguna bagi dirinya dan orang lain (learning to do) mancari jati diri (learning to be) dan dapat hidup secar damai, aman dan nyaman dalam sebauh komunitas masyarakat (learning to life together).
Kompetensi guru professional
Untuk meraih predikat guru professional, paling tidak memiliki empat karaterstik professional. Pertama. Kamampaun professional (professional capacity) yaitu kemampuan intelegensi, sikap, nilai,  dan ketrampilan serta prestasi dalam pekerjaanya. Secara sederhana guru harus menguasi materi yang diajarkan atau penguasaan secara tuntas. Hal ini sesuai dengan tuntutan pembalajaran secara tuntas (mastery learning). selaian itu guru harus senantiasa mengembangbiakan ilmu pengetahuannya dan ketrampilan (life skill) sehingga tidak ketinggalan zaman sesuai dengan tuntutan global.
Kedua. Kompetensi upaya professional (professional effort) yaitu kompetensi untuk membelajarkan siswanya. Membelajarkan siswa tidak hanya mengajarkan isi materinya saja. Guru garus bisa membelajarkan siswa untuk menguasi materinya. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) proses ini disebut dengan pengalaman belajar, yaitu proses interaksi antara pembelajar dengan materi yang komunikatif dan bermakna. di sini tanpak proses aktif siswa sebagai subjek belajar. Guru dapat membelajarkan siswanya secara tuntas, benar dan berhasil untuk itu, guru harus memiliki keahlian dalam bidang metodologi pembelajaran. Guru perlu melakukan explorasi metodologi sesuai dengan situasi dan kondisi. Setiap kelas berbeda individunya, setiap materi berbeda karateriktnya ini semua menuntut guru untuk senantiasa melakukan aktivasi,  mengaplikasikan  metode pembelajaran.
Ketiga, pofesional dalam pengelolaan waktu yang mengacu pada intensitas waktu seorang guru yang dikonsentrasikan untuk tugas-tugas profesinalnya sebagai seorang guru (teacher’s time). Intensitas pengelolaan waktu itu bukan hanya mengacu di dalam kelas tetapi juga di luar kelas. Guru memanfaatkan waktu luang secara berhasil dan bermakna. Untuk mendukung tugas-tugas professional tidak membiarkan waktu terbuang sia untuk memngobrol yang tidak produktik yang menimbulkan ekses-ekses negative lebih baik untuk membaca, berdiskusi dan berkarya. Intensitas waktu ini sejalan dengan konsep waktu belajar yang dilakukan oleh siswa (time of task). Intensitas pemanfaatan waktu untuk belajar siswa di pengaruhi oleh keterampilan guru mengelolah waktu secara bermakna dan produktif.
Keempat, imbalan professional (profesinal waget). Guru professional layak mendapatkan imbalan yang memadai sesuai prestasinya dalam bekerja. Sistem imbalan atau pendapatan ini dapat menyejahterakan diri dan keluarganya. Bagaimana mungkin guru dapat memanfaatkan waktu secara proaktif untuk mempersiapkan tugas mengajar dan tugas-tugas professional (time on task) apabila kehidupan diri dan keluarganya kurang sejahtera. Sering kita dengar guru mencari upaya-upaya sampingan kesana-kemari bahkan ada yang nyambi tukang ojek. Oleh karena itu, jika kita menuntut profensionalisme guru, harus konsekuen dengan peningkatan taraf ekonomi. Profenasionalisme seorang guru terkait langsung kliennya yaitu siswa sebagai pembayar dan pengguna jasa pendidikan. Jika siswa memperoleh kepuasan atas prestasi kerja secara professional dari guru, guru itu pantas mendapatkan imbalan yang memadai sebagai seorang professional.
Professional dan investasi 
Terkait dengan UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah cukup problematik. Terlebih dengan PP. No. 25/2000 yang menyiratkan otonomi setingkat kota dan kabupaten serta dengan adanaya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini secara tidak langsung bahwa guru menjadi mesin perubahan dalam pendidikan baik secara makro terlebih secara mikro (kelas). Penanganan guru cenderung dilakukan oleh pemerintah kota dan kabupaten masing-masing. Persoalannya, kemampuan setiap daerah berbeda-beda, visi dan misi antarkota dan kabupaten berbeda, kebijakan/kepentingan Pemda setempat terhadap guru juga berbeda-beda.       
             Belajar dari pengalaman, pendidikan di Indonesia yang salah urus sehingga Indonesia berada di urutan 112 dari 147 Negara, dan berbanding terbalik dengan Malaysia yang dahulu berguru kepada Indonesia, apabila daerah tidak ingin terperosok kejurang yang lebih dalam, mestinya pengalaman salah urus pendidikan tidak perlu dan harus tidak terulang. Untuk itu, harus segera menanam investasi di bidang pendidikan. Investasi ini dengan cara antara lain meningkatkan profenasionalisme guru. Kebijakan untuk guru tidak lagi peripheral dan marginal, tetapi menjadi sentral. Guru yang professional dapat menghantarkan anak didik yang berkualitas yang akan menjadi pemimpin-pemimpin yang berkualitas dalam membangun daerah, bangsa dan Negara. Kalaupun tidak sekarang kapan lagi?   
             Sebagai contoh dalam pembinaan guru profesionla di Yogyakarta, kabupaten Bantul telah memprakarsai untuk meningkatkan sumber daya masyarakat guru dengan studi lanjut baik ke jenjang yang lebih tinggi penyetaraan D2, bahkan S1dan S2 . Tampaknya hal ini mulai diikuti oleh kota dan kabupaten lain. Bima, kenapa tidak! Mengacu pada karakteristik professional guru yang telah diurai diatas, studi lanjut meupakan salah satu gerbang pembuka jalan menuju profesionalisme guru, minimal untuk tiga karakteristik profesinal seorang guru yaitu kemampuan professional, upaya  professional dan waktu professional. Bagaimana dengan imbalan professional?
Persoalan imbalan guru ini merupakan persoalan klasik. Solusinya mudah, tetapi rumit dilakukan karena menjadi tarik-menarik kepentingan pada kebijakan pemerintah  daerah. Solusi sederhana itu adalah jika guru telah melaksanakan tugasnya secara profesinal, memuaskan kliennya (siswa), meningkatkan kualitas pembelajarannya, guru pantas mendapatkan imbalan sesuai dengan prestasi kerjanya. Dalam hal ini tidak berlaku hukum kualitas. Klausul yang menyatakan bahwa guru professional dapat terwujud jika kesejahteraan harus memadai. Pernyataan ini tidak seluruhnya benar, tetapi juga tidak salah karena bukan jaminan guru-guru yang sejahtera pasti professional dalam membelajarkan siswanya. Yang benar adalah guru-guru yang professional pantas mendapatkan penghargaan secara professional pula sehingga dapat mensejahterakan diri dan keluarganya. Yang terjadi memang guru banyak pendapat tapi sedikit pendapatan. Persoalan berikutnya bagaimana mayoritas guru adalah pegawai negeri dengan srata gaji yang sama menurut jabatan dan golongannya?. Penghargaan yang sama ini sering menjadi kambing hitam dalam hal etos kerja. Kerja secara biasa dan berprestsi toh gajinya sama saja, pemahaman kesejahteraan berputas pada masalah gaji, memang tidak salah, tetapi pemikiran lahriah dan belum mendasar. Kepuasan kerja, prestasi yang perlu dibangga dan kepedulian terhadap kesehatan merupakan aspek-aspek kesejahteraan batiniah. Akan tetapi ingat, dengan prestasi kerja yang patut dinbanggakan dan kinerja yang berkualitas akan mendatangakan materi diluar gaji sebagai konsekuensi prestasi.
Untuk menghargai prestasi dan kualitas guru yang professional, daerah secara otonomi ikut bertanggung jawab. Tanpa adanya penghargaan, maka profesionalisme guru masih sebatas cita-cita yang menggantung di awang-awang. Barang kali penghargaan antar daerah amatlah berbeda. Setiap guru akan mendapatkan gaji yang sama sesuai dengan jabatan, pangkat atau golonganya. Akan tetapi, tidak semua guru akan mendapatkan penghargaan tambahan secara professional. Sangat mungkin terjadi fariasi penghargaan antar daerah dalam satu propinsi, tergantung pada kemampuan kota dan kabupaten.
Cara lain adalah memperansertakan siswa sebagai klien dari guru. Siswa dan orang tua turut bertanggung jawab kepada konsekuensi professional untuk guru. Ini terbukti banyak orang berani membayar lebih “mahal” untuk apabila sekolah itu memiliki guru-guru yang professional. Ini menunjukan bahwa orang tua telah memiliki kesadaran pentingnya pendidikan dan pembelajaran secara professional dengan segala konsekuensinya.
Memang investasi memerlukan modal. Namum itulah yang dapat kita tinggalkan dan bekalkan kepada generasi. Investasi ini perlu dilakukan di Bima dan dapat menjadi kota pendidikan dengan mewujudkan visi kota pendidikan yang unggul yang berkualitas dan berbudaya.        
Sekolah Unggul VS Guru Unggul
            Peningkatan indeks prestasi manusia Indonesia yang utuh seperti yang di rekomendasikan oleh undang-undang harus segera dilakukan. Tapi permasalah itu tidaklah semudah cita-cita dan angan-angan. Berbagai bentuk pembangunan fisik yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini memang patut menjadi prestasi sejarah pendidikan. Benarkan pembangunan fisik berbanding lurus dengan pembangunan guru dalam dimensi non-fisik (profesionalitas) yaitu kreatifias, efisiensi, efektif, disiplin, tanggungjawab, dan lain sebagainya ?. Pertanyaan ini patut dikembangkan dan menjadi bahan evaluasi bagi para policy maker serta semua stakeholder pendidikan di Bima secara khusus. Pemaknaan “sekolah model, sekolah unggul, kelas ekselarasi” serta apapun namanya yang lebih tren lagi sangat tergantung pada sifat profesionalitas guru. Ada adagium mengatakan bahwa “ the men behind the gun” artinya kemampuan guru yang professional mampu menjadi kunci master dalam pengelolalaan pendidikan. Apalah artinya sekolah unggul, sekolah model dan kelas ekselarasi tapi gurunya malas belajar, jarang baca buku serta kaku tidak responsive dengan perkembangan. Janganlah guru menjadi penonton setiap perkembangan tetapi harus menjadi pelaku utama dalam pelaksanaan pendidikan. Sedikit mengutip pendapat Darmaningtysa (2005) “sebetulnya guru memiliki peluang yang besar untuk meningkakan kesejahteraan sekaligus mengembangkan diri kalau dia kreatif dan rajin. Tapi justru dua inilah yang tidak dimiliki oleh guru baik guru PNS maupun swasta. Mereka umunya malas membaca, tidak memiliki keinginan tahu (curiosity) terhadap ilmu tidak ada hasrat untuk mengembangkan diri. Inilah persoalan guru yang mendesak ditangani tapi justru terlewatkan karena fokus pada gaji tinggi”. Guru adalah garda terdepan dalam pengelolah dan pembangunan peradaban semakin professional guru semakin tinggi tinggkat peradaban manusia***
                             

0 komentar:

Posting Komentar