Kita
memang prihatin dengan indeks kualitas manusia Indonesia yang menduduki urutan ke
112 dari 147 negara (data UNDP,2003). Negara Indonesia yan telah dibangun hampir
62 tahun semenjak kemerdekaan pada tahun 1945 dengan keadaan sejarang ini
menduduki urutan 112. Sulit dibayangkan seperti apa keadaan negara-negara yang
memilki unrutan awal 1-10. Namun kita tidak boleh hanya prihatin, terpaku, diam
diri dan aktif mengagumi negara-negra orang lain. Pada tataran aksi kita harus
melakukan sesuatu, berpikir, mengevaluasi serta introspeksi diri mengapa pada
banyak kesempatan Indonesia
berada pada urutan yang memprihatinkan.
Menarik
kembali jam sejarah bahwa pada tahun 1970 negeri jiran Malyasia pernah mengimpor
guru-guru dari indonesia.
Namun jarum sejarah terus berputar mencatat negara Malyasia sebagai suatu
negara yang telah jauh meninggalkan sang gurunya.
Kilas
balik berbicara masalah indeks kualitas manusia adalah masalah pendidikan
secara makro. Secara mikro pendidikan mengacu pada proses pengelolaan managemen
pembelajaran di kelas. Banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan dalan
mengelola pembelajaran dalam kelas. Salah satu variabel tersebut adalah guru
yang profesional. Guru profesional harus dapat menjadi aktor di kelas yang
mengamtarkan pembelajar ke cita-cita menuju empat pilar pendidikan yang telah
digariskan oleh UNISCO. Guru dapat mengantarkan pembelajar meraih ilmu
pengetahuan (learning to know),
meraih kecakapan jidup (life skill)
dan memiliki ketrampilan untuk sesuatu yang berguna bagi dirinya dan orang lain
(learning to do) mancari jati diri (learning to be) dan dapat hidup secar
damai, aman dan nyaman dalam sebauh komunitas masyarakat (learning to life together).
Kompetensi guru professional
Untuk
meraih predikat guru professional, paling tidak memiliki empat karaterstik
professional. Pertama. Kamampaun
professional (professional capacity)
yaitu kemampuan intelegensi, sikap, nilai,
dan ketrampilan serta prestasi dalam pekerjaanya. Secara sederhana guru
harus menguasi materi yang diajarkan atau penguasaan secara tuntas. Hal ini
sesuai dengan tuntutan pembalajaran secara tuntas (mastery learning). selaian itu guru harus senantiasa mengembangbiakan
ilmu pengetahuannya dan ketrampilan (life
skill) sehingga tidak ketinggalan zaman sesuai dengan tuntutan global.
Kedua. Kompetensi upaya professional (professional effort) yaitu kompetensi
untuk membelajarkan siswanya. Membelajarkan siswa tidak hanya mengajarkan isi materinya
saja. Guru garus bisa membelajarkan siswa untuk menguasi materinya. Dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) proses ini disebut dengan pengalaman belajar, yaitu
proses interaksi antara pembelajar dengan materi yang komunikatif dan bermakna.
di sini tanpak proses aktif siswa sebagai subjek belajar. Guru dapat
membelajarkan siswanya secara tuntas, benar dan berhasil untuk itu, guru harus
memiliki keahlian dalam bidang metodologi pembelajaran. Guru perlu melakukan
explorasi metodologi sesuai dengan situasi dan kondisi. Setiap kelas berbeda
individunya, setiap materi berbeda karateriktnya ini semua menuntut guru untuk
senantiasa melakukan aktivasi, mengaplikasikan metode pembelajaran.
Ketiga, pofesional dalam pengelolaan
waktu yang mengacu pada intensitas waktu seorang guru yang dikonsentrasikan
untuk tugas-tugas profesinalnya sebagai seorang guru (teacher’s time). Intensitas pengelolaan waktu itu bukan hanya
mengacu di dalam kelas tetapi juga di luar kelas. Guru memanfaatkan waktu luang
secara berhasil dan bermakna. Untuk mendukung tugas-tugas professional tidak
membiarkan waktu terbuang sia untuk memngobrol yang tidak produktik yang
menimbulkan ekses-ekses negative lebih baik untuk membaca, berdiskusi dan
berkarya. Intensitas waktu ini
sejalan dengan konsep waktu belajar yang dilakukan oleh siswa (time of task). Intensitas pemanfaatan
waktu untuk belajar siswa di pengaruhi oleh keterampilan guru mengelolah waktu
secara bermakna dan produktif.
Keempat, imbalan professional (profesinal waget). Guru professional
layak mendapatkan imbalan yang memadai sesuai prestasinya dalam bekerja. Sistem
imbalan atau pendapatan ini dapat menyejahterakan diri dan keluarganya. Bagaimana
mungkin guru dapat memanfaatkan waktu secara proaktif untuk mempersiapkan tugas
mengajar dan tugas-tugas professional (time
on task) apabila kehidupan diri dan keluarganya kurang sejahtera. Sering
kita dengar guru mencari upaya-upaya sampingan kesana-kemari bahkan ada yang nyambi tukang ojek. Oleh karena itu,
jika kita menuntut profensionalisme guru, harus konsekuen dengan peningkatan
taraf ekonomi. Profenasionalisme seorang guru terkait langsung kliennya yaitu
siswa sebagai pembayar dan pengguna jasa pendidikan. Jika siswa memperoleh
kepuasan atas prestasi kerja secara professional dari guru, guru itu pantas
mendapatkan imbalan yang memadai sebagai seorang professional.
Professional dan investasi
Terkait
dengan UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah cukup problematik. Terlebih dengan
PP. No. 25/2000 yang menyiratkan otonomi setingkat kota dan kabupaten serta
dengan adanaya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini secara tidak
langsung bahwa guru menjadi mesin perubahan dalam pendidikan baik secara makro
terlebih secara mikro (kelas). Penanganan guru cenderung dilakukan oleh
pemerintah kota
dan kabupaten masing-masing. Persoalannya, kemampuan setiap daerah
berbeda-beda, visi dan misi antarkota dan kabupaten berbeda,
kebijakan/kepentingan Pemda setempat terhadap guru juga berbeda-beda.
Belajar
dari pengalaman, pendidikan di Indonesia yang salah urus sehingga Indonesia
berada di urutan 112 dari 147 Negara, dan berbanding terbalik dengan Malaysia
yang dahulu berguru kepada Indonesia, apabila daerah tidak ingin terperosok kejurang
yang lebih dalam, mestinya pengalaman salah urus pendidikan tidak perlu dan
harus tidak terulang. Untuk itu, harus segera menanam investasi di bidang
pendidikan. Investasi ini dengan cara antara lain meningkatkan
profenasionalisme guru. Kebijakan untuk guru tidak lagi peripheral dan marginal, tetapi menjadi sentral. Guru yang
professional dapat menghantarkan anak didik yang berkualitas yang akan menjadi
pemimpin-pemimpin yang berkualitas dalam membangun daerah, bangsa dan Negara.
Kalaupun tidak sekarang kapan lagi?
Sebagai
contoh dalam pembinaan guru profesionla di Yogyakarta,
kabupaten Bantul telah memprakarsai untuk meningkatkan sumber daya masyarakat
guru dengan studi lanjut baik ke jenjang yang lebih tinggi penyetaraan D2,
bahkan S1dan S2 . Tampaknya hal ini mulai diikuti oleh kota dan kabupaten lain. Bima,
kenapa tidak! Mengacu pada karakteristik professional guru yang telah diurai
diatas, studi lanjut meupakan salah satu gerbang pembuka jalan menuju
profesionalisme guru, minimal untuk tiga karakteristik profesinal seorang guru
yaitu kemampuan professional, upaya professional
dan waktu professional. Bagaimana dengan imbalan professional?
Persoalan imbalan guru ini merupakan persoalan klasik.
Solusinya mudah, tetapi rumit dilakukan karena menjadi tarik-menarik
kepentingan pada kebijakan pemerintah
daerah. Solusi sederhana itu adalah jika guru telah melaksanakan tugasnya
secara profesinal, memuaskan kliennya (siswa), meningkatkan kualitas
pembelajarannya, guru pantas mendapatkan imbalan sesuai dengan prestasi kerjanya.
Dalam hal ini tidak berlaku hukum kualitas. Klausul yang menyatakan bahwa guru
professional dapat terwujud jika kesejahteraan harus memadai. Pernyataan ini
tidak seluruhnya benar, tetapi juga tidak salah karena bukan jaminan guru-guru
yang sejahtera pasti professional dalam membelajarkan siswanya. Yang benar
adalah guru-guru yang professional pantas mendapatkan penghargaan secara
professional pula sehingga dapat mensejahterakan diri dan keluarganya. Yang
terjadi memang guru banyak pendapat tapi sedikit pendapatan. Persoalan
berikutnya bagaimana mayoritas guru adalah pegawai negeri dengan srata gaji
yang sama menurut jabatan dan golongannya?. Penghargaan yang sama ini sering
menjadi kambing hitam dalam hal etos kerja. Kerja secara biasa dan berprestsi
toh gajinya sama saja, pemahaman kesejahteraan berputas pada masalah gaji, memang
tidak salah, tetapi pemikiran lahriah dan belum mendasar. Kepuasan kerja, prestasi
yang perlu dibangga dan kepedulian terhadap kesehatan merupakan aspek-aspek
kesejahteraan batiniah. Akan tetapi ingat, dengan prestasi kerja yang patut
dinbanggakan dan kinerja yang berkualitas akan mendatangakan materi diluar gaji
sebagai konsekuensi prestasi.
Untuk menghargai
prestasi dan kualitas guru yang professional, daerah secara otonomi ikut
bertanggung jawab. Tanpa adanya penghargaan, maka profesionalisme guru masih
sebatas cita-cita yang menggantung di awang-awang. Barang kali penghargaan
antar daerah amatlah berbeda. Setiap guru akan mendapatkan gaji yang sama
sesuai dengan jabatan, pangkat atau golonganya. Akan tetapi, tidak semua guru
akan mendapatkan penghargaan tambahan secara professional. Sangat mungkin
terjadi fariasi penghargaan antar daerah dalam satu propinsi, tergantung pada
kemampuan kota
dan kabupaten.
Cara lain adalah
memperansertakan siswa sebagai klien dari guru. Siswa dan orang tua turut bertanggung
jawab kepada konsekuensi professional untuk guru. Ini terbukti banyak orang
berani membayar lebih “mahal” untuk apabila sekolah itu memiliki guru-guru yang
professional. Ini menunjukan bahwa orang tua telah memiliki kesadaran
pentingnya pendidikan dan pembelajaran secara professional dengan segala
konsekuensinya.
Memang investasi memerlukan modal. Namum itulah yang dapat
kita tinggalkan dan bekalkan kepada generasi. Investasi ini perlu dilakukan di
Bima dan dapat menjadi kota
pendidikan dengan mewujudkan visi kota
pendidikan yang unggul yang berkualitas dan berbudaya.
Sekolah Unggul VS Guru Unggul
Peningkatan indeks prestasi manusia Indonesia yang
utuh seperti yang di rekomendasikan oleh undang-undang harus segera dilakukan.
Tapi permasalah itu tidaklah semudah cita-cita dan angan-angan. Berbagai bentuk
pembangunan fisik yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini memang patut
menjadi prestasi sejarah pendidikan. Benarkan pembangunan fisik berbanding
lurus dengan pembangunan guru dalam dimensi non-fisik (profesionalitas) yaitu
kreatifias, efisiensi, efektif, disiplin, tanggungjawab, dan lain sebagainya ?.
Pertanyaan ini patut dikembangkan dan menjadi bahan evaluasi bagi para policy maker serta semua stakeholder
pendidikan di Bima secara khusus. Pemaknaan “sekolah model, sekolah unggul,
kelas ekselarasi” serta apapun namanya yang lebih tren lagi sangat tergantung
pada sifat profesionalitas guru. Ada
adagium mengatakan bahwa “ the men behind
the gun” artinya kemampuan guru yang professional mampu menjadi kunci
master dalam pengelolalaan pendidikan. Apalah artinya sekolah unggul, sekolah
model dan kelas ekselarasi tapi gurunya malas belajar, jarang baca buku serta
kaku tidak responsive dengan perkembangan. Janganlah guru menjadi penonton
setiap perkembangan tetapi harus menjadi pelaku utama dalam pelaksanaan
pendidikan. Sedikit mengutip pendapat Darmaningtysa (2005) “sebetulnya guru
memiliki peluang yang besar untuk meningkakan kesejahteraan sekaligus
mengembangkan diri kalau dia kreatif dan rajin. Tapi justru dua inilah yang
tidak dimiliki oleh guru baik guru PNS maupun swasta. Mereka umunya malas
membaca, tidak memiliki keinginan tahu (curiosity)
terhadap ilmu tidak ada hasrat untuk mengembangkan diri. Inilah persoalan guru
yang mendesak ditangani tapi justru terlewatkan karena fokus pada gaji tinggi”.
Guru adalah garda terdepan dalam pengelolah dan pembangunan peradaban semakin
professional guru semakin tinggi tinggkat peradaban manusia***
0 komentar:
Posting Komentar